Wakaf (Kitab Mu'amalat Bagian 43)
Wakaf yaitu menahan sesuatu benda yang kekal zatnya, mungkin diambil manfaatnya untuk diberikan di jalan kebaikan.
Firman Allah SWT:
"Perbuatlah oleh kamu kebaikan semoga kamu dapat kemenangan. QS.Al Hajji:77".
Firman Allah SWT:
"Tidak akan tercapai oleh kamu kebaikan sebelum kamu sanggup membelanjakan sebagian barang yang kamu sayangi. QS.Ali Imran:92".
Sabda Rasulullah SAW:
"Sesungguhnya Umar telah mendapatkan sebidang tanah di Khaibar. Umar bertanya kepada Rasulullah SAW: Apakah perintahmu kepadaku berhubung dengan tanah yang saya dapat ini? Jawab beliau: Jika engkau suka tahanlah tanah itu dan engkau sedekahkan manfaatnya. Maka dengan petunjuk beliau itu terus Umar sedekahkan manfaatnya dengan perjanjian tidak akan dijual tanahnya, tidak pula diberikan dan tidak pula diwariskan. HRBukhari dan Muslim".
Inilah mula-mula wakaf yang masyhur dalam Islam.
Kata Imam Syafi'i:
"Sesudah itu 80 orang sahabat di Madinah terus mengorbankan harta mereka dijadikan wakaf pula".
Kelebihan Wakaf Dari Amal Yang Lain
Sabda Rasulullah SAW:
"Dari Abu Hurairah, sesungguhnya Nabi SAW telah berkata: Apabila mati seseorang manusia habislah amalnya (tidak bertambah lagi kebaikan amalnya itu) kecuali tiga perkara: 1.Wakaf. 2.Mengembangkan ilmu pengetahuan (baik dengan jalan mengajar maupun dengan jalan karang mengarang dan sebagainya). 3.Anak yang shaleh yang mendo'akan ibu bapaknya. HR.Jama'ah Ahli Hadits selain Bukhari dan Ibnu Majah".
Dengan hadits tersebut teranglah kepada kita bahwa berwakaf bukan hanya seperti berderma (bersedekah) biasa tetapi lebih besar ganjarannya dan manfaatnya terhadap diri yang berwakaf sendiri, karena ganjaran wakaf itu terus-menerus selama barang wakaf itu masih berguna, pun terhadap masyarakat dapat menjadi jalan untuk kemajuan yang seluas-luasnya, pun dapat menghambat arus kerusakan. Lihatlah negeri-negeri Islam di zaman dahulu karena adanya wakaf, umat Islam dapat maju malahan sampai sekarang telah beratus-ratus bahkan beribu tahun masih juga kekal oleh wakaf mereka itu. Kita di zaman serba ada ini masih dapat merasakan manis dan lezatnya dari wakaf mereka dahulu itu. Maka kalau sekiranya Muslimin yang kaya sekarang sanggup mewakafkan harta mereka seperti orang-orang Islam dahulu, kita percaya bahwa mereka berarti telah membuka satu jalan untuk kemajuan pembangunan sekarang ini.
Rukun Wakaf
1. Yang Berwakaf.
Syaratnya:
a. Berhak berbuat kebaikan walau bukan Islam sekalipun.
b. Dengan kehendak sendiri, bukan dipaksa orang.
2. Sesuatu Yang Diwakafkan.
Syaratnya:
a. Kekal zatnya, berarti manfaatnya diambil dari barang yang tidak rusak.
b. Kepunyaan sendiri walaupun musya' (bercampur dan tidak dapat dipisahkan dengan yang lain).
Sabda Rasulullah SAW:
"Telah berkata Umar kepada Rasulullah SAW: Sesungguhnya saya mempunyai seratus saham di Khaibar, belum pernah saya mempunyai harta yang lebih saya kasih dari itu, sesungguhnya saya bermaksud menyedekahkannya. Jawab Nabi SAW: Engkau tahan asalnya dan sedekahkanlah buahnya. HR.Nasai dan Ibnu Majah".
Seratus saham kepunyaan Umar yang dalam hadits: "musya" maka oleh karenanya hadist ini menjadi dalil sahnya wakaf "musya".
3. Tempat Berwakaf (Yang Berhak Menerima Hasil Wakaf Itu).
Kalau berwakaf kepada orang yang tertentu, disyaratkan orang yang berhak menerima hasil wakaf itu, orang yang berhak memiliki sesuatu, maka tidak sah berwakaf kepada anak yang masih dalam kandungan ibunya, begitu juga kepada hamba sahaya.
4. Lafaz.
Seperti: "Saya wakaf kan ini kepada orang-orang miskin atau saya wakafkan ini untuk membuat benteng dan sebagainya". Kalau kepada yang tertentu ada qabul (jawab) tetapi wakaf untuk umum tidak disyaratkan qabul.
Wakaf Kepada Umum
Berwakaf kepada umum di jalan kebaikan sah, malahan inilah yang lebih penting seperti kepada fakir dan miskin kepada ulama, murid-murid, masjid-masjid, sekolah-sekolah, untuk membuat jalan, jembatan, benteng dan lain-lain kemaslahatan keperluan umum.
Macam-Macam Wakaf
Wakaf yang terang sahnya ialah kepada orang yang telah ada dan terus menerus tidak putus-putusnya. Adapun beberapa macam wakaf dibawah ini adalah menjadi perselisihan antara beberapa ulama tentang sah atau tidaknya:
1. Putus Awalnya.
Seperti kata seseorang: "Saya wakafkan ini kepada anak-anak saya kemudian kepada fakir miskin". Sedang dia tidak mempunyai anak, ini tidak sah karena tidak dapat diberikan sekarang.
2. Putus Di Tengah.
Umpama seseorang berkata: "Saya wakafkan ini kepada anak-anakku, kemudian kepada seseorang dengan tidak ditentukan, kemudian kepada orang-orang miskin". Ini atas kata yang kuat, sah. Diberikanlah wakaf sesudah tingkatan pertama kepada tingkatan ketiga.
3. Putus Di Akhir.
Umpama dia berkata: "Saya wakafkan ini kepada beberapa anak dari A" dengan tidak diterangkan kemudian itu kepada siapa. Semacam ini sah juga menurut kata yang mu'tamad, sesudah habis anak dari A. Sebagian ulama berpendapat diberikanlah buah wakaf kepada sehampir-hampir orang kepada yang berwakaf karena sedekah kepada famili lebih utama. tetapi pendapat sebagian ulama yang lain diberikan kepada fakir dan miskin.
Beberapa Syarat Wakaf
1.Selama-lamanya, berarti tidak dibatas dengan waktu.
Maka jika seseorang berkata: "Saya wakafkan ini kepada fakir miskin dalam masa satu tahun". Wakaf semacam ini tidak sah karena tidak berkekalan.
2. Tunai (tidak pasti) dan Tidak Ada Khiyar Syarat karena wakaf berarti memindahkan milik pada waktu itu.
Jika disyaratkan khiyar atau dia berkata: "Kalau si A datang, saya wakafkan ini kepada murid-murid". Wakaf semacam ini tidak sah karena tidak tunai. Terkecuali dari itu kalau dihubungkan dengan mati, umpama dia berkata: "Saya wakafkan sawah saya sesudah saya mati kepada ulama Palembang". Lafaz ini sah menjadi wasiat, bukan wakaf.
3. Hendaklah terang atau jelas kepada siapa diwakafkan.
Kalau dia berkata: "Saya wakafkan rumah ini". Wakaf ini tidak sah karena tidak jelas kepada siapa diwakafkannya.
Beberapa Syarat Dari Yang Berwakaf
Apabila sah wakaf, tempat berwakaf (Orang yang menerima wakaf) berhak mengambil hasilnya, baik manfaat seperti mendiami rumah atau zat seperti sebuah pohon yang diwakafkan atau susu hewan yang diwakafkan, sewa wakaf dan sebagainya. Sungguhpun begitu tetapi hendaklah diatur menurut aturan (syarat-syarat) dari yang berwakaf, sama atau tidaknya, yang terdahulu dan yang terkemudiannya. Umpamanya dia berkata: "Saya wakafkan ini kepada anak-anak saya untuk laki-laki dua kali bagian perempuan, atau penghasilan tahun yang pertama untuk perempuan dan penghasilan tahun yang kedua untuk laki-laki atau anak saya yang miskin, atau yang sekolah tinggi dan sebagainya". Semua syarat-syarat itu wajib dijalankan, umpama dia berkata: "Saya wakafkan ini kepada pengurus Ahlussunah Wal Jama'ah kemudian kepada murid-murid". Wakaf diberikan kepada pengurus Ahlus Sunnah Wal Jama'ah selama pengurus masih ada. Murid-murid tidak mendapat selama pengurus masih ada. Pendek kata, aturan yang berwakaf wajib dijalankan selama tidak melanggar hukum syara'.
Kalau tidak ada aturan (syarat) dari yang berwakaf atau tidak diketahui, hendaklah dibagi dengan seadil-adilnya atau dengan perembukan antara beberapa orang yang berhak.
Menjual Wakaf
Sebagaimana telah jelas diatas bahwa wakaf itu hanya untuk diambil manfaatnya, barang asalnya tetap, tidak boleh dijual, diberikan atau diwariskan. Sekarang kalau kiranya wakaf itu tidak ada manfaatnya atau kurang manfaatnya melainkan dengan dijual, bolehkah dijual? Menurut kata yang sah, tidak berhalangan menjual tikar masjid yang sudah tidak pantas dipakai lagi agar jangan tersia-sia saja, uangnya digunakan untuk kemaslahatan masjid.
Dalam mazhab Ahmad bin Hanbal, apabila manfaat wakaf tak dapat dipergunakan, wakaf itu boleh dijual dan uangnya dibelikan kepada gantinya. Begitu juga mengganti masjid atau mengubahnya. Pun memindahkan masjid dari satu kampung ke kampung yang lain atau dijual, uangnya untuk mendirikan masjid di kampung yang lain, kalau kampung lama tidak berkehendak lagi kepada masjid karena sudah roboh umpamanya, hal demikian kalau dipandang kemaslahatan. Beliau mengambil alasan dengan perbuatan Umar bin Khattab yang telah mengganti mesjid Khoufah yang lama dengan masjid yang baru, pun tempatnya beliau pindahkan sehingga tempat masjid yang lama telah menjadi pasar.
Kata Ibnu Taimiyah:
"Sesungguhnya yang menjadi pokok disini untuk menjaga kemaslahatan. Allah menyuruh kita menjalankan kemaslahatan dan menjauhkan kerusakan. Allah telah mengutus pesuruhNya untuk menyempurnakan kemaslahatan dan melenyapkan segala kerusakan".
Firman Allah SWT:
"Kata Nabi Musa AS kepada saudaranya Harun: Hendaklah engkau gantikan saya untuk menjaga kaum saya dan jalankan kemaslahatan untuk mereka dan jangan sekali-kali engkau mengikut jalan orang-orang yang merusak. QS.Al A'raf:142".
Firman Allah SWT:
"Kata Nabi Syu'aib AS: Saya tidak menghendaki sesuatupun melainkan kemaslahatan sekedar kuasaku. QS.Hud:88".
Firman Allah SWT:
"Orang yang taqwa kepada Allah dan mengerjakan kemaslahatan tidak usah merasa takut kepada apapun dan tak usah rusuh atau susah. QS.Al A'raf:35".
Sampai disini keterangan Syeh Ibnu Taimiyah, kami kutip dari kitab Mu'inul-Mubin karangan Abd. Hamid Hakim.
Bantu Klik Iklan Dibawah Ya, Terima Kasih Atas Bantuannya
No comments:
Post a Comment