Friday, September 18, 2015

Rukun Nikah (Kitab Nikah / Perkawinan Bagian 3)

Rukun Nikah (Kitab Nikah / Perkawinan Bagian 3)

Rukun Nikah (Kitab Nikah / Perkawinan Bagian 3)

Rukun nikah itu ada tiga:

1. Sighat ('aqad)
Yaitu perkataan dari pihak wali perempuan, seperti kata wali: "Saya nikahkan engkau dengan anak saya bernama......",
  • Penjelasan:
    Hendaklah disebutkan nama pengantin perempuan itu.
  • jawab pihak laki-laki (mempelai): "Saya terima menikahi....."
  • Penjelasan:
    Hendaklah disebutkan nama pengantin perempuan itu.

  • Boleh juga terdahulu perkataan dari pihak mempelai, seperti: "Kawinkanlah saya dengan anakmu". Jawab wali: "Saya nikahkan engkau dengan anak saya......"
  • Penjelasan:
    Hendaklah disebutkan nama pengantin perempuan itu.

  • Karena maksudnya sama. Tidak sah aqad nikah melainkan dengan lafaz nikah atau tazwij atau terjemahan dari keduanya.

    Sabda Rasulullah SAW:
    "Telah berkata Nabi SAW: Takutlah kepada Allah dalam urusan perempuan sesungguhnya kamu ambil mereka dengan kepercayaan Allah dan kamu halalkan mereka dengan kalimat Allah. HR.Muslim".

    Yang dimaksud dengan kalimat Allah dalam hadits ialah Al-Qur'an dan tidak disebutkan dalam Al-Qur'an selain dari dua kalimat itu, (nikah dan tazwij), maka harus diturut agar tidak salah.

    Pendapat yang lain menyatakan: sah aqad dengan lafaz yang lain asal maknanya sama dengan kedua lafaz tersebut, karena asal lafaz aqad ma'qul makna tidak semata-mata ta'abudi.

    2. Wali (Wali si perempuan).

    Keterangan Sabda Nabi SAW:
    "Barangsiapa di antara perempuan yang nikah dengan tidak diizinkan oleh walinya, maka pernikahannya batal (tidak sah). HR.Empat Orang Ahli Hadits terkecuali Nasai".

    Sabda Rasulullah SAW:
    "Janganlah menikahkan perempuan akan perempuan yang lain, jangan pula menikahkan seorang perempuan akan dirinya sendiri. HR.Ibnu Majah dan Daruquthni".

    3. Dua Orang Saksi.

    Sabda Rasulullah SAW:
    "Tidak sah nikah melainkan dengan wali, dan dua saksi yang adil. HR.Ahmad".

    Susunan Wali

    Yang dianggap sah untuk menjadi wali mempelai perempuan ialah menurut susunan yang dibawah ini, karena wali-wali itu memang telah diketahui oleh orang yang ada pada masa turun ayat: "Janganlah kamu keberatan menikahkan mereka. QS.Al Baqarah:232". Begitu juga hadist Ummi Salamah, yang telah berkata kepada Rasulullah: "Wali saya tidak ada seorangpun yang dekat".

    semua itu menjadi tanda, bahwa wali-wali itu telah diketahui (dikenal).
    1. Bapaknya.

    2. Kakek/Datuknya (Bapak dari bapak si mempelai perempuan).

    3. Saudara laki-laki yang seibu-sebapak dengan dia.

    4. Saudara laki-laki yang sebapak saja dengan dia.

    5. Anak saudara laki-laki dari saudara laki-laki yang seibu-sebapak dengan dia.

    6. Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang sebapak saja dengan dia.

    7. Saudara bapak yang laki-laki (pamannya dari pihak bapak).

    8. Anak laki-laki dari pamannya yang dari pihak bapaknya.

    9. Hakim.

    Syarat Wali Dan Dua Saksi

    Wali dan saksi bertanggung jawab atas sahnya aqad pernikahan, maka oleh karenanya tidak semua orang dapat diterima menjadi wali atau saksi, tetapi hendaklah orang-orang yang bersifat dengan beberapa sifat yang berikut:

    1. Islam.
    Orang yang tidak beragama Islam tidak sah menjadi wali atau saksi.

    Firman Allah SWT:
    "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil orang Yahudi dan orang Nasrani untuk menjadi wali. QS.Al Maidah:51".

    2. Baligh (Sudah berumur sedikitnya 15 tahun).

    3. Berakal.

    4. Merdeka.

    5. Laki-laki.
    Karena hadits riwayat Ibnu Majah dan Daruquthni diatas.

    6. Adil.

    Keistimewaan Bapak Dari Wali-Wali Yang Lain

    Si bapak dan kakek diberi hak mengkawinkan anaknya yang bikir/perawan dengan tidak izin si anak lebih dahulu, dengan orang yang dipandangnya baik. Terkecuali anak yang saib (bukan perawan lagi) tidak dikawinkan melainkan dengan izinnya lebih dahulu. Wali-wali yang lain tidak berhak mengkawinkan mempelainya melainkan sesudah mendapat izin dari mempelai itu sendiri.

    Sabda Rasulullah SAW:
    "Telah berkata Rasulullah SAW: Perempuan yang janda lebih berhak terhadap dirinya daripada walinya dan anak perawan dikawinkan oleh bapaknya. HR.Daruquthni".

    Sabda Rasulullah SAW:
    "Dari 'Aisyah, sesungguhnya Nabi SAW telah nikah dengan 'Aisyah sewaktu ia baru berumur 6 tahun dan dicampuri serta tinggal bersama Rasulullah SAW sewaktu ia berumur 9 tahun. HR.Sepakat Ahli Hadits".

    Sabda Rasulullah SAW:
    "Dari Ibnu Abbas, katanya: Sesungguhnya seorang perawan telah mengadukan halnya kepada Rasulullah SAW bahwa ia telah dikawinkan oleh bapaknya dan dia tidak menyukainya. Maka Nabi SAW memberi kesempatan kepada perawan itu untuk meneruskan atau untuk membatalkan perkawinan itu. HR.Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah dan Daruquthni".

    Rasulullah memberikan kesempatan memilih kepada perawan itu, adalah tanda bahwa perkawinan yang dilakukan bapaknya itu sah, sebab kalau perkawinannya itu tidak sah tentu Nabi SAW menjelaskan bahwa perkawinan itu tidak sah atau beliau katakan kawinlah dengan laki-laki lain.

    Ulama-ulama yang membolehkan wali bapak atau kakek menikahkan dengan tidak izin ini, menggantungkan bolehnya dengan syarat-syarat sebagai berikut dibawah ini:

    1. Tidak ada permusuhan antara bapak dan anak.

    2. Hendaklah dikawinkan dengan orang yang setara (sekufu).

    3. Maharnya tidak kurang dari mahar misil (sebanding).

    4. Tidak dikawinkan dengan orang yang tidak mampu membayar mahar.

    5. Tidak dikawinkan dengan laki-laki yang mengecewakan (membahayakan) si anak kelak dalam pergaulannya dengan laki-laki itu, seperti orang buta atau orang yang sudah sangat tua sehingga tidak ada harapan akan mendapat kegembiraan dalam pergaulannya.

    Qaidah:
    "Usaha pemimpin terhadap yang dipimpinnya didasarkan atas kemaslahatan".

    Sebagian ulama berpendapat, tidak ada bagi si bapak menikahkan anak perawannya dengan tidak ada izin lebih dahulu dari anaknya itu.

    Sabda Rasulullah SAW:
    "Dari Abu Hurairah, katanya: Telah berkata Rasulullah SAW: Janganlah dinikahkan perempuan janda sebelum diajak bermusyawarah, dan perawan sebelum diminta izinnya. Sahabat lalu bertanya: Bagaimana cara izin perawan itu, ya Rasulullah? Jawab beliau: Diamnya tanda izinnya. HR.Jama'ah Ahli Hadits".

    Oleh pihak pertama, hadits ini dan sebagainya, diartikan perintah sunnah atau larangan makruh bukan perintah wajib atau larangan haram.

    Golongan kedua menjawab pula, bahwa hadits-hadits yang membolehkan si bapak menikahkan anaknya dengan tidak izin lebih dahulu terjadi sebelum datang perintah yang mewajibkan izin. Dan kejadian mengenai diri 'Aisyah (perkawinannya) dengan Rasulullah SAW adalah khususiyah (tertentu) bagi Rasulullah SAW sendiri, tidak dapa tdijadikan dalil untuk umum.

    Enggan Atau Keberatan Wali 

    Apabila seorang perempuan telah meminta kepada walinya untuk dinikahkan dengan seorang laki-laki yang setingkat (sekufu) dan walinya keberatan dengan tidak ada alasan, maka hakim berhak menikahkannya, setelah ternyata keduanya setingkat (sekufu) dan setelah memberi nasehat kepada wali agar mencabut keberatannya itu. Maka apabila wali tetap keberatan, hakim berhak menikahkan perempuan itu.

    Sabda Rasulullah SAW:
    "Dari Ma'qal bin Yasar, katanya: Saya telah menikahkan saudara saya dengan seseorang. kemudian diceraikannya. Setelah habis 'iddahnya, laki-laki itu datang meminta saudaraku itu kembali. Saya katakan kepadanya: Saya telah nikahkan engkau dengan segala hormat, kemudian engkau ceraikan sekarang engkau datang meminangnya, demi Allah saya tidak akan mengembalikan saudaraku kepadamu. Keadaan laki-laki itu baik dan perempuan itu ingin kembali kepadanya.
    Maka dengan kejadian ini datanglah wahyu Allah: "Dan apabila kamu menceraikan perempuan kemudian habis 'iddahnya, maka janganlah kamu keberatan menikahkan mereka dengan bekas suaminya. QS.Al Baqarah ayat 232". Ma'qal berkata: Sekarang saya nikahkan mereka, ya Rasulullah! Lantas dinikahkannya laki-laki itu dengan saudaranya. HR.Bukhari".

    Sabda Rasulullah SAW:
    "Dari Aisyah, katanya Rasulullah SAW telah berkata: Tidak sah nikah melainkan dengan wali dan dua orang saksi yang adil; jika wali-wali itu enggan (keberatan) maka sulthan (hakim) lah yang menjadi wali orang yang tidak mempunyai wali. HR.Daruquthni".

    Dua Orang Wali Masing-Masing Menikahkan

    Seorang perempuan dikawinkan oleh dua orang walinya yang sederajat, kepada dua orang laki-laki. Umpamanya Fatimah mempunyai wali saudaranya sendiri Ahmad dan Amin. Ahmad menikahkan Fatimah dengan Yusuf dan Amin menikahkan dengan Zaidan.

    Jika diketahui yang terdahulu di antara keduanya maka yang terdahulu itulah yang sah dan yang terkemudian tidak sah.

    Sabda Rasulullah SAW:
    "Kata Rasulullah SAW: Barangsiapa dari perempuan yang dinikahkan oleh dua orang walinya, maka perempuan itu untuk yang pertama di antara kedua laki-laki itu. HR.Ahmad dan lain-lain".

    Jika tidak diketahui yang terdahulu atau diketahui bersamaan, maka kedua perkawinan itu batal, karena asalnya perempuan itu haram sehingga jelas sebab halalnya.

    Wali Ghaib (Wali Jauh)

    Wali-wali itu diatur begitu rupa sebagai tersebut diatas, yang lebih dekat hubungannya didahulukan daripada yang lebih jauh. Maka apabila wali yang lebih dekat (akrab) itu ghaib (jauh) dari perempuan yang akan dinikahkan, sejauh perjalanan qasar dan ia tidak mempunyai wakil, maka perempuan itu boleh dinikahkan oleh hakim karena wali  yang ghaib itu masih tetap wali belum berpindah kepada wali yang lebih jauh hubungannya. Ini menurut pendapat mazhab Syafi'i.

    Pendapat mazhab Abu Hanifah, dinikahkan oleh wali yang lebih jauh hubungannya dari wali yang ghaib, menurut susunan wali-wali tersebut diatas, umpamanya wali ghaib itu bapak, yang menikahkan anak itu kakeknya bukan hakim. Atau wali yang ghaib itu kakeknya, yang menikahkannya saudara seibu-sebapak dan seterusnya menurut susunan wali-wali. Alasan mazhab ini:

    1. Karena wali yang telah jauh hubungannya itu juga wali seperti yang dekat itu, hanya yang dekat itu didahulukan karena ia lebih utama, maka apabila ia tidak dapat menjalankannya keutamaannya itu hilang dan berpindah kekuasaan itu kepada wali yang lain menurut susunan yang semestinya.

    2. Hakim itu (menurut hadits) wali bagi orang yang tidak mempunyai wali, sedangkan dalam hal ini wali selain dari yang ghaib itu ada, maka hakim belum berhak menjadi wali karena walinya masih ada.

    Bantu Klik Iklan Dibawah Ya
    Satu Klik-an Anda Berguna Untuk Kepentingan Blog Ini
    Terima Kasih Atas Bantuannya

    No comments:

    Post a Comment