Jaminan / Borg (Kitab Mu'amalat Bagian 26)
Jaminan atau rungguhan ialah suatu barang yang dijadikan peneguhan/penguatkan kepercayaan dalam utang piutang. Barang itu boleh dijual kalau utang tak dapat dibayar, hanya penjualan itu hendaklah dengan keadilan (dengan harga yang berlaku di waktu itu).
Firman Allah SWT:
"Apabila kamu dalam perjalanan dan tidak ada orang yang menuliskan (utang) maka hendaklah dengan rungguhan/jaminan yang diterima ketika itu. QS.Al Baqarah:283".
Sabda Rasulullah SAW:
"Dari Anas, ia berkata: Telah merungguhkan Rasulullah SAW akan baju besi beliau kepada seorang Yahudi di Madinah sewaktu beliau mengutang sya'ir (gandum) dari seorang Yahudi untuk ahli rumah beliau. HR.Ahmad, Bukhari, Nasai dan Ibnu Majah".
Menurut keterangan dalam hadits lain banyak biji gandum yang diutang Rasulullah SAW dari seorang Yahudi, 30 sho', lebih kurang 90 liter dengan rungguhan/jaminan baju perang beliau.
Dari hadits tersebut, teranglah kepada kita bahwa agama Islam dalam urusan muamalat, tidak membedakan antara pemeluknya dengan yang lain. Wajib atas muslimin membayar hak pemeluk agama yang lain, seperti terhadap sesama mereka. Begitu juga tidak halal harta mereka melainkan dengan cara yang halal terhadap sesama muslimin.
Rukun Rungguhan/Jaminan :
1. Lafaz (Kalimat aqad).
Seperti "Saya rungguhkan ini kepada engkau untuk utangku yang sekian kepada engkau". Jawab dari yang berpiutang: "Saya terima rungguhan ini".
2. Yang merungguhkan, dan yang menerima rungguh (yang berutang dan yang berpiutang)
Disyaratkan keadaan keduanya ahli tasharruf (berhak membelanjakan hartanya).
3. Barang yang dirungguhkan.
Tiap-tiap zat yang boleh dijual boleh dirungguhkan, dengan syarat keadaan barang itu tidak rusak sebelum sampai janji utang harus dibayar.
4. Ada utang.
Disyaratkan keadaan utang telah tetap.
Apabila barang yang dirungguhkan diterima oleh yang berpiutang, tetaplah rungguhan; dan apabila telah tetap rungguhan yang punya barang tidak boleh menghilangkan miliknya dari barang itu, baik dengan jalan dijual atau diberikan, atau sebagainya, kecuali dengan izin yang berpiutang.
Apabila rusak atau hilang barang yang dirungguhkan di tangan yang memegangnya ia tidak mengganti, karena barang rungguhan itu adalah barang amanah (percaya-mempercayai) kecuali jika rusak atau hilangnya disebabkan keteledoran.
Manfaat Barang Yang Dirungguhkan
Yang punya barang tetap berhak mengambil manfaatnya dari barangnya yang dirungguhkan, malahan semua manfaatnya tetap kepunyaan dia, pun kerusakan barang juga atas tanggungannya. Ia berhak mengambil manfaat barang yang dirungguhkan itu, walaupun tidak seizin orang yang menerima rungguhan tetapi usahanya untuk menghilangkan miliknya dari barang itu atau mengurangi harga barang itu, tidak dibolehkan melainkan dengan izin yang menerima rungguhan, maka tidaklah sah bagi orang yang merungguhkan menjual barang yang sedang dirungguhkan itu, begitu juga mempersewakannya, apabila masa sewa-menyewa itu melalui masa rungguhan.
Sabda Rasulullah SAW:
"Berkata Nabi SAW: Rungguhan itu tidak menutup akan yang punyanya dari manfaat barang itu, faedahnya kepunyaan dia dan dia wajib membayar dendanya. HR.Syafi'i dan Daruquthni".
Yang memegang rungguhan boleh mengambil manfaat barang yang dirungguhkan dengan sekedar ganti kerugiannya untuk menjaga barang itu.
Sabda Rasulullah SAW:
"Apabila dirungguhkan seekor kambing, maka yang memegang rungguhan itu boleh minum susunya sekedar sebanyak makanan yang diberikannya kepada kambing itu, maka jika dilebihkannya dari sebanyak itu, lebihnya itu menjadi riba. HR.Hammad bin Salmah".
Bertambahnya Barang Yang Dirungguhkan
a. Tambahan yang terpisah seperti buahnya, telurnya, anaknya yang jadi dan lahir sesudah dirungguhkan, tidak termasuk barang rungguhan. tetapi tetap kepunyaan orang yang merungguhkan, maka jika barang rungguhan itu dijual oleh yang memegang rungguhan, tambahannya itu tidak boleh ikut dijual sebab tambahan itu tidak ikut dirungguhkan.
b. Tambahan yang tidak dapat dipisahkan, seperti tambahan gemuknya, tambah besarnya dan anak yang masih dalam kandungan, semuanya itu termasuk yang dirungguhkan. Begitu juga bulunya jika di waktu merungguhkan sudah waktu memotong dan tidak dipotongnya, sebab sampainya waktu memotong tidak dipotongnya menjadi tanda bahwa bulu itu termasuk dirungguhkan, tetapi jika di waktu merungguhkan belum waktunya dipotong, maka seperti tambahan yang terpisah, tidak termasuk dirungguhkan, yang punya barang berhak memotongnya dan mengambil bulu itu, apabila sampai waktu memotongnya.
Adapun rungguhan yang berlaku di negeri kita ini (seseorang merungguhkan sawah atau pohon kelapa, semua penghasilannya diambil oleh yang memegang), tidak sah dan tidak halal karena gunanya rungguhan, hanya untuk menambah kepercayaan yang berpiutang kepada yang berutang, bukan untuk mencari keuntungan bagi yang berpiutang.
Sabda Rasulullah SAW:
"Tiap-tiap piutang yang mengambil manfaat adalah satu macam dari beberapa macam riba. HR.Baihaqi".
No comments:
Post a Comment