Sobat Berita Islam Yang Dirahmati Allah SWT. Semoga Keadaan Anda Selalu dalam Lindungan Allah SWT. Jika Sebelumnya Kamu Membaca Artikel Kisah Sahabat Nabi Yang Jasadnya Dilindungi Lebah. Maka Artikel kali adalah mengenai sahabat Nabi Yang mengutamakan bersama Nabi dari pada keluarganya.
Berikut Kisah sahabat Nabi yang bernama Zaid Bin Haritsah yang Tampang dan perawakannya biasa saja, pendek dengan kulit coklat kemerah-merahan, dan hidung yang agak pesek. Demikian dikatakan dalam sebuah riwayat.
Masalahnya, bukan pada fisiknya Yang membuat sejarah hidupnya hebat dan besar. Namun perjalanan panjang sejarahnya bersama Rasulullah lah ia terkenal. Zaid yang berasal dari suku yang jauh dari Mekah, sampai ke Mekah dengan status budak. Tetapi begitulah Allah Yang Maha Mempunyai rencana agar Zaid bisa bertemu dengan Rasul-Nya.
“Setiap Rasulullah mengirimkan suatu pasukan yang disertai oleh Zaid, pastilah ia yang selalu diangkat Nabi jadi pemimpinnya. Seandainya ia masih hidup sesudah Rasul, tentulah ia akan diangkatnya sebagai khalifah!” (Aisyah r.a).
MASA KECIL ZAID
Ibu Zaid yang bernama Su’di binti Tsa’labah berniat hendak berziarah ke kaum keluarganya di kampung Bani Ma’an. Ia sudah gelisah dan seakan-akan tak sabar lagi menunggu waktu keberangkatannya. Pada suatu pagi yang cerah, suaminya. Mempersiapkan kendaraan dan perbekalan untuk keperluan itu. Kelihatan isterinya sedang menggendong anak mereka yang masih kecil, yakni Zaid. Di waktu ia akan menitipkan isteri dan anaknya kepada rombongan kafilah yang akan berangkat bersama dengan isterinya, dan ia harus menunaikan tugas pekerjaannya, menyelinaplah rasa sedih di hatinya, perasaan aneh menyeluruh di hatinya, menyuruh agar ia turut serta mendampingi anak dan isterinya. Akhirnya perasaan gundah itu hilang jua. Dan kafilah pun mulai bergerak memulai perjalanannya meninggalkan kampung itu, dan tibalah waktunya bagi Haritsah untuk mengucapkan selamat jalan bagi putera dan isterinya ….
Demikianiah, ia melepas isteri dan anaknya dengan air mata berlinang. Lama ia diam terpaku di tempat berdirinya sampai keduanya lenyap dari pandangan. Haritsah merasakan hatinya tergoncang, seolah-olah tidak berada di tempatnya yang biasa. Ia hanyut dibawa perasaan seolah-olah ikut berangkat bersama rombongan kafilah
Setelah beberapa lama Su’da, isteri Haritsah berdiam bersama kaum keluarganya di kampung Bani Ma’an. Hingga pada suatu hari, desa itu dikejutkan oleh serangan gerombolan perampok badui yang menggerayangi desa tersebut.
Kampung dibuat porak poranda. Karena tak dapat mempertahankan diri, semua milik yang berharga dikuras habis dan penduduk yang tertawan digiring oleh para perampok itu sebagai tawanan, termasuk si kecil Zaid bin Haritsah. Dengan perasaan duka kembalilah ibu Zaid kepada suaminya seorang diri.
Demi Haritsah mengetahui kejadian tersebut, ia pun jatuh tak sadarkan diri. Dengan tongkat di pundaknya ia berjalan mencari anaknya. Kampung demi kampung diselidikinya, padang pasir dijelajahinya. Dia bertanya pada kabilah yang lewat, kalau-kalau ada yang tahu tentang anaknya tersayang dan buah hatinya “Zaid.”
Tetapi usaha itu tidak berhasil. Maka bersyairlah ia menghibur diri sambil menuntun untanya, yang diucapkannya dari lubuk perasaan yang haru:
“Kutangisi Zaid, ku tak tahu apa yang telah terjadi, Dapatkah ia diharapkan hidup, atau telah mati Demi AIlah ku tak tahu, sungguh aku hanya bertanya. Apakah di lembah ia celaka atau di bukit ia binasa. Di kala matahari terbit ku terkenang padanya. BiIa surya terbenam ingatan kembali menjelma. Tiupan angin yang membangkitlkan kerinduan pula, Wahai, alangkah lamanya duka nestapa diriku jadi merana”
Perbudakan kala itu adalah sesuatu yang lumrah menurut kondisi masyarakat pada zaman itu. Dan itu tidak hanya terjadi di Jazirah Arab saja tapi bahkan hampir mendunia. Terjadi di Athena Yunani, begitu di kota Roma, dan begitu pula di seantero dunia, dan tidak terkecuali di jazirah Arab sendiri.
PERTEMUAN DENGAN RASULULLAH
Ketika kabilah perampok yang menyerang desa Bani Maan berhasil dengan rampokannya, mereka pergi ke pasar Ukaz menjual barang-barang dan tawanan hasil rampokannya. Si kecil Zaid dibeli dibeli oleh Hakim bin Hizam dengan harga 400 dirham. Pada kemudian harinya ia memberikannya kepada bibinya, Siti Khadijah binti Khuwailid. Pada waktu itu, Khadijah radhiallahu’anha telah menjadi isteri Muhammad bin Abdullah (sebelum diangkat menjadi rasul oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala).
Selanjutnya Khadijah memberikan khadamnya Zaid sebagai pelayan bagi Muhammad. Beliau pun menerimanya dengan senang hati, lalu segera memerdekakannya. Dengan pribadinya yang besar dan jiwanya yang mulia, Zaid diasuh dan dididiknya dengan segala kelembutan dan kasih sayang seperti terhadap anaknya sendiri.
PENCARIAN AYAH ZAID TERHADAP ANAKNYA
Pada salah satu musim haji, sekelompok orang dari desa tempat Haritsah tinggal berjumpa dengan Zaid di Mekah. Mereka menyampaikan kerinduan ayah bunda Zaid. Zaid balik menyampaikan pesan salam rindu dan hormatnya kepada kedua orang tuanya. Kepada para hujaj atau jamaah haji itu, Zaid berkata, “Tolong beritakan kepada kedua orang tuaku bahwa aku di sini tinggal bersama seorang ayah yang paling mulia.”
Begitu ayah Zaid mengetahui di mana anaknya berada, segera ia mengatur perjalanan ke Mekah bersama seorang saudaranya. Sesampainya di Mekah, ia menanyakan di mana rumah Muhammad. Setelah bertemu dengan Muhammad, Haritsah berkata,
“Wahai Ibnu Abdul Muththalib…!, wahai putera dari pemimpin kaumnya! Anda termasuk penduduk tanah Suci yang biasa membebaskan orang tertindas, yang suka memberi makanan para tawanan. Kami datang ini kepada anda hendak meminta anak kami. Sudilah kiranya menyerahkan anak itu kepada kami dan bermurah hatilah menerima uang tebusannya seberapa adanya?”
ZAID MEMILIH BERADA DI SISI RASULULLAH DARI PADA KELUARGANYA
Rasulullah sendiri mengetahui benar bahwa hati Zaid telah lekat dan terpaut kepadanya, tapi dalam pada itu merasakan pula hak seorang ayah terhadap anaknya. Maka kata Nabi kepada Haritsah:
“Panggillah Zaid itu ke sini, suruh ia memilih sendiri. Seandainya dia memilih Anda, maka akan saya kembalikan kepada Anda tanpa tebusan. Sebaliknya jika ia memilihku, maka demi Allah aku tak hendak menerima tebusan dan tak akan menyerahkan orang yang telah memilihku!”
Mendengar ucapan dari Rasulullah saw yang demikian, wajah Haritsah berseri-seri kegembiraan, karena tak disangkanya sama sekali kemurahan hati seperti itu, lalu ucapnya: “Benar-benar anda telah menyadarkan kami dan anda beri pula keinsafan di balik kesadaran itu!”
Kemudian Nabi menyuruh seseorang untuk memanggil Zaid. Setibanya di hadapannya, beliau langsung bertanya: “Tahukah engkau siapa orang-orang ini?” “Ya, tahu”, jawab Zaid, “Yang ini ayahku sedang yang seorang lagi adalah pamanku”.
Kemudian Nabi mengulangi lagi apa yang telah dikatakannya kepada ayahnya tadi, yaitu tentang kebebasan memilih orang yang disenanginya.
Tanpa berfikir panjang, Zaid menjawab: “Tak ada orang pilihanku kecuali Anda! Andalah ayah, dan Andalah pamanku!”
Mendengar itu, kedua mata Rasulullah basah dengan air mata, karena rasa syukur dan haru. Lain dipegangnya tangan Zaid, dibawanya ke pekarangan Ka’bah, tempat orang-orang Quraisy sedang banyak berkumpul, lain serunya: “Saksikan oleh halian semua, bahwa mulai saat ini, Zaid adalah anakku … yang akan menjadi ahli warisku dan aku jadi ahli warisnya’
Mendengar itu hati Haritsah seakan-akan berada di awang-awang karena suka citanya, sebab ia bukan saja telah menemukan kembali anaknya bebas merdeka tanpa tebusan, malah sekarang diangkat anak pula oleh seseorang yang termulia dari suku Quraisy yang terkenal dengan sebutan “Ash-Shadiqul Amin”, — Orang lurus Terpercaya –, keturunan Bani Hasyim, tumpuan penduduk kota Mekah seluruhnya.
Maka kembalilah ayah Zaid dan pamannya kepada kaumnya dengan hati tenteram, meninggalkan anaknya pada seorang pemimpin kota Mekah dalam keadaan aman sentausa, yakni sesudah sekian lama tidak mengetahui apakah ia celaka terguling di lembah atau binasa terkapar di bukit.
Rasulullah telah mengangkat Zaid sebagai anak angkat…, maka menjadi terkenallah ia di seluruh Mekah dengan nama “Zaid bin Muhammad” ….
Wahai….. apakah yang lebih dapat membuat hati Zaid terpaut kepada Rasulullah ketimbang orang tua kandungnya daripada setelah melihat akhlaq manusia teragung yang dikirim ditengah manusia-manusia yang sedang mengalami dekadensi moral. Jiwa kanak-kanaknya yang fitrah dengan mantap menjatuhkan pilihan yang selaras dengan kecenderungannya kepada kefitrahan.
RASA SAYANG RASULULLAH KEPADA ZAID
Tidak tak lama setelah Muhammad memikul tugas kerasulannya dengan turunnya wahyu tersebut, jadilah Zaid sebagai orang yang kedua masuk Islam.
Rasul sangat sayang sekali kepada Zaid. Kesayangan Nabi itu memang pantas dan wajar disebabkan kejujurannya, kebesaran jiwanya, kelembutan dan kesucian hatinya, sertaiterpelihara lidah dan tangannya.
Semua itu menyebabkan Zaid punya kedudukan tersendiri sebagai “Zaid Kesayangan” sebagaimana yang telah dipanggilkan sahabat-sahabat rasul kepadanya. Berkatalah Aisyah ra, “Setiap Rasulullah mengirimkan suatu pasukan yang disertai oleh Zaid, pastilah ia yang selalu diangkat menjadi pemimpinnya. Seandainya ia masih hidup sesudah Rasul, tentulah ia akan diangkatnya sebagai khalifah.”
Zaid merupakan seorang panglima perang yang gagah berani, dan terbaik dalam membidik panah, ikut dalam perang Badr, dan menjadi perisai terhadap tubuh Nabi saat perang Uhud, ikut dalam perang Khandak, perjanjian Hudaibiyah, penaklukan Khaibar, dan perang Hunain, dan Rasulullah saw menjadikan sebagai panglima dalam 7 kali perang gerilya : Al-jumu’, Al-thorf, al-‘aish, hismi dan lain-lainnya,
Saat tentara Romawi mengubah perbatasan negara Islam dan menjadikan Syam sebagai pusat pemerintahan mereka; Rasulullah saw mengirim pasukan ke daerah Balqo di bagian negara Syam, dan memberikan wejangan dan pesan kepada para prajuritnya setelah menunjuk Zaid bin Haritsah sebagai pemimpin pasukan, maka Rasulullah saw berdiri melepas bala tentara Islam yang akan berangkat menuju medan perang Muktah melawan orang-orang Romawi. Beliau mengumumkan tiga nama yang akan memegang pimpinan dalam pasukan secara berurutan, sabdanya:
“Kalian semua berada di bawah pimpinan Zaid bin Haritsah! Seandainya ia tewas, pimpinan akan diambil alih oleh Ja’far bin Abi Thalib; dan seandainya Jafar tewas pula, maka komando hendaklah dipegang oleh Abdullah ibnul Rawahah.”
Sampai ke tingkat inilah kedudukan Zaid di sisi Rasulullah
AWAL SEBUTAN ZAID BIN HARITSAH
Setelah Rasulullah saw mengizinkan para sahabatnya berhijrah ke Madinah Zaid ikut serta berhijrah, dan Rasulullah saw mempersaudarkannya dengan Asid bin Khadir, dan pada saat itu Zaid masih dipanggil dengan Zaid bin Muhammad hingga turun firman Allah SWT : “Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka”. (Al-Ahzab:5), maka saat itu pula Zaib dipanggil nama dengan Zaid bin Haritsah, dan Rasulullah saw menikahkannya dengan tuannya Ummu Aiman dan melahirkan anak yang bernama Usamah bin Zaid
Rasulullah saw menikahkan Zaid dengan Zainab. Sayangnya, pernikahannya tidak berumur panjang dan berakhir dengan perceraian. Kesediaan Zainab menikah dengan Zaid hanya karena rasa enggan menolak anjuran dan syafaat Rasulullah, dan karena tidak sampai hati menolak Zaid sendiri. Ketidakharmonisan ini sangat mengganggu Zaid sehingga Zaid pergi menghadap Rasulullah saw mengadukan hal tersebut, maka Rasulullah saw memerintahkannya untuk menahannya dan bersabar atasnya, namun Allah SWT memeirntahkan kepada Rasul-Nya untuk menceraikan Zainab dari Zaid kemudian beliau menikahi mantan istri dari Zaid, yang demikian untuk menghilangkan persepsi kebiasaan mengadopsi anak yang telah menjadi adat dikalangan jahiliyah, bahwa pada waktu itu anak angkat diperlakukan seperti anak sendiri,
Allah berfirman : “Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang telah Allah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi nikmat kepadanya : “Tahanlah terus istrimu dan bertaqwalah kepada Allah”, sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang telah allah menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), kami kawinkan kamu dengan dia, supaya tidak ada keberatan bagi orang mu’min untuk (mengawani) istri-istri anak-anak angkat mereka, jika anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada istrinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi”. (Al-Ahzab:37).
Dan cukuplah bagi Zaid mendapatkan kebanggaan namanya dicantumkan dalam Al-Qur’an Al-Karim, dan kemudian Rasulullah saw menikahkan beliau dengan Ummi Kultsum binti Uqbah.
Maka Rasulullah saw mengambil tanggung jawab terhadap rumah tangga Zaid ini yang telah pecah itu. Rasulullah merangkul Zainab dengan menikahinya sebagai isterinya, kemudian mencarikan Ummu Kultsum binti ‘Uqbah yang kemudian dinikahkan dengan Zaid.
Karena peristiwa tersebut, terjadilah kegemparan di kalangan masyarakat kota madinah. Mereka melemparkan kecaman, kenapa Rasul menikahi bekas isteri anak angkatnya.
Tantangan dan kecaman ini kemudian dijawab oleh Allah SWT dengan wahyu-Nya yang membedakan antara anak angkat dan anak kandung atau anak adaptasi dengan anak sebenarnya, sekaligus membatalkan adat kebiasaan yang berlaku selama itu. Pernyataan wahyu itu berbunyi sebagai berikut:
“Muhammad bukanlah bapak dari seorang laki-laki (yang ada bersama) kalian. Tetapi, ia adalah Rasul Allah dan Nabi penutup. (al-Ahzab: 40)
Dengan turunnya wahyu tersebut, Zaid kemudian dipanggil dengan sebutan “Zaid bin Haritsah.”
SYAHIDNYA ZAID DI MEDAN JIHAD
Suatu ketika datanglah perang Muktah yang terkenal itu. Adapun orang-orang Romawi dengan kerajaan mereka yang telah tua secara diam-diam mulai cemas dan takut terhadap kekuatan Islam, bahkan mereka melihat adanya bahaya besar yang dapat mengancam keselamatan mereka. Terutama di daerah jajahan mereka, Syam (Syiria) yang berbatasan dengan negara dari agama baru ini, yang senantiasa bergerak maju dalam membebaskan negara-negara tetangganya dari cengkeraman penjajah. Bertolak dari pikiran demikian, mereka hendak mengambil Syria sebagai batu loncatan untuk menaklukan jazirah Arab dan negeri-negeri Islam.
Gerak-gerik orang-orang Romawi dan tuan terakhir mereka yang hendak menumpas kakuatan Islam dapat tercium oleh Rasulullah. Sebagai seorang yang ahli strategi, Rasulullah memutuskan untuk mendahului mereka dengan serangan mendadak sebelum diserang di daerahnya sendiri.
Demikianlah, pada bulan Jumafil Ula, tahun yang kedelapan Hijriah, tentara Islam maju bergerak ke Balqa’ di wilayah Syam. Demi mereka sampai di perbatasannya, mereka dihadapi tentara Romawi yang dipimpin oleh Heraklius, dengan mengerahkan juga kabilah-kabilah atau suku-suku badui yang diam di perbatasan. Tentara Romawi mengambil tempat di suatu daerah yang bernama Masyarif, sedangkan laskar Islam mengambil posisi di dekat negeri kecil yang bernama Muktah yang kemudian dijadikan nama pertempuran ini.
Rasulullah saw mengetahui benar arti penting dan bahayannya peperangan ini. Oleh sebab itu, beliau sengaja memilih tiga orang panglima perang yang di waktu malam bertakarub mendekatkan mendekatkan diri kepada Ilahi, sedangkan di siang hari sebagai pendekar pejuang pembela agama. Tiga orang pahlawan itu adalah mereka yang siap menggadaikan jiwa raga mereka kepada Allah, yang tiada berkeinginan kembali, yang bercita-cita mati syahid dalam perjuangan menegakkan kalimat Allah, yang mengharap semata-mata ridha Illahi dengan menemui wajah-Nya Yang Maha Mulia kelak.
Mereka bertiga secara berurutan memimpin tentara itu ialah: Zaid bin Haritsah, Ja’far bin Abi Thalib, dan Abdullah bin Rawahah, moga-moga Allah rela kepada mereka dan menjadikan mereka rela kepada-Nya, serta Allah merelakan pula seluruh sahabat lainya.
Rasul berdiri di hadapan pasukan tentara Islam yang hendak berangkat itu. Rasul melepas mereka dengan amanat, “Kalian harus tunduk kepada Zaid bin Harits sebagai pimpinan, seandainya ia gugur pimpinan dipegang oleh Ja’far bin Abi Thalib, dan senadainya Ja’far gugur pula, maka tempatnya diisi oleh Abdullah bin Rawabah.”
Ja’far bin Abi Thalib dijadikan orang yang kedua setelah Zaid, meskipun keberanian dan ketangkasanya serta keturunan dan kebangsawanannya tidak diragukan lagi, bahkan orang yang paling dekat kepada Rasul dari segi hubungan keluarga, sebagai anak pamannya sendiri.
Beginilah contoh dan teladan yang diperlihatkan Rasul dalam mengukuhkan suatu prinsip. Islam sebagai suatu agama baru mengikis habis segala hubungan lapuk yang didasarkan pada darah dan turunan atau yang ditegakkan atas yang batil dan rasialisme. Islam mengganti sistem-sistem yang tidak baik itu atas bimbingan dan hidayah Ilahi yang berpokok kepada hakikat kemanusiaan.
Ketika Rasulullah memilih mereka bertiga untuk menjadi pemimpin pasukan secara berurutan, seolah-olah beliau telah telah mengetahui secara ghaib tentang pertempuarn yang akan berlangsung. Beliau mengatur dan menetapkan susunan panglimanya dengan tertib berurutan: Zaid, lalu lalu Ja’far, kemudian Ibnu Abi Rawahah, ternyata ketika mereka menemui ajalnya, pulang ke rahmat Allah sebagai syuhada, sesuai dengan urutan itu pula.
Demi Kaum Muslimin melihat tentara romawi yang jumlahnya menurut taksiran tidak kurang dari 200.000 orang, suatu jumlah yang tak mereka duka sama sekali, mereka terkejut. Tetapi kapankah pertarungan yang didasari iman mempertimbangkan jumlah bilangan?
Ketika itulah, disana, mereka maju terus tanpa gentar, tak perduli dan tak menghiraukan besarnya musuh. Didepan sekali kelihatan dengan tangkasnya mengendarai kuda, panglima mereka Zaid, sambil memegang teguh panji-panji Rasulullah SAW. maju menyerbu laksana topan, dicelah-celah desingan anak panah, ujung tombak dan pedang musuh. Mereka bukan hanya semata-mata mencari kemenangan, tetapi lebih dari itu mereka mencari apa yang telah dijanjikan Allah, yakni tempat pembaringan disisi Allah, karen sesuai dengan firman-Nya:
“Sesungguhnya Allah telah membeli jiwa dan harta orang-orang Mu’min dengan surga sebagai imbalannya.” (QS. at-Taubah: 111)
Zaid tak sempat melihat pasir Balqa’, bahkan pula keadaan bala tentara Romawi, tetapi ia langsung melihat keindahan taman-taman surga dengan dedaunannya yang hijau berombak laksana kibaran bendera, yang memberitakan kepadanya, bahwa itulah hari istirahat dan kemenangannnya.
Ia telah terjun ke medan laga dengan menerpa, menebas, membunuh atau dibunuh. Tetapi ia tidaklah memisahkan kepala musuh-musuhnya, ia hanyalah membuka pintu dan menembus dinding, yang menghalanginya kekampung kedamaian, surga yang kekal disisi Allah.
Ia telah menemui tempat peristirahatannya yang akhir. Rohnya yang melayang dalam perjalanannya ke surga tersenyum bangga melihat jasadnya yang tidak berbungkus sutera dewangga, hanya berbalut darah suci yang mengalir di jalan Allah.
Senyumnya semakin melebar dengan tenang penuh nikmat, karena melihat panglima yang kedua Ja’far melesit maju ke depan laksana anak panah lepas dari busurnya. untuk menyambar panji-panji yang akan dipanggulnya sebelum jatuh ketanah.
Rasulullah saw pun berdo’a untuknya :
“Mohonkanlah ampunan untuk saudara kalian, sungguh (Zaid) telah menemui cita-citanya untuk masuk surga”. (Ibnu Sa’ad).
Zaid bin Haritsah r.a gugur sebagai syahid dalam perang Mu’tah, pada Jumadil Awwal 8 H. Pada waktu itu usianya 55 tahun.
(disarikan dari nabilmufti.wordpress.com)
No comments:
Post a Comment