Sebelum Kelahiran Besar Muhammad SAW kemuka bumi ini. Ada peristiwa yang luar biasa yang di abadikan didalam Al Qur’an. Kejadian ini diperkirakan pada tahun 570 Masehi. Sebuah pasukan besar ingin menghancurkan ka’bah. Mereka terhimpun dari 60.000 ribu prajurit. Para komandan pasukan dilengkapi dengan kendaran gajah untuk lebih jelasnya, ikuti kisah selengkapnya :
Peristiwa tersebut berawal dari kecemburuan penguasa Yaman yang beragama Nashrani terhadap “popularitas” Baitullah dan Ka’bah di Makkah. Telah ratusan tahun orang-orang di Jazirah Arabia melakukan ritual (ibadah haji) mengunjungi atau ziarah ke Baitul Athiq (Rumah Tua, yakni Ka’bah) tersebut, termasuk yang berasal dari Yaman. Penguasa atau Gubernur Yaman yang bernama Abrahah ash Shabbah al Habsyi itu berkeinginan agar mereka mengalihkan kebiasaannya tersebut ke Kota Shan’a, ibukota Yaman. Karena itu membangun sebuah gereja yang amat besar dan menghiasinya dengan seindah-indahnya.
Setelah gereja yang begitu megah, indah dan mengagumkan itu selesai dibangun, Abrahah mengirimkan pengumuman ke seluruh penjuru Arabia. Ia memerintahkan agar para kabilah itu “mengalihkan” ritual ibadah hajinya kepada gerejanya yang diberi nama Qalis tersebut. Para pemimpin kabilah itu amat marah dengan “pemaksaan” yang dilakukan Abrahah. Seseorang dari Bani Kinanah mendatangi Gereja Qalis tersebut, dan pada suatu malam ia memasukinya dan melumurkan kotoran ke pusat (kiblat)nya gereja tersebut. Riwayat lainnya menyebutkan, dua orang pemuka dari Bani Fuqaim dan Bani Malik yang mendatangi dan mengotori gereja Qalis, sedangkan utusan Abrahah yang dikirim ke Bani Kinanah tewas tertembus panah dari orang tidak dikenal.
Melihat keinginannya tidak tercapai, ditambah lagi pengotoran Qalis dan pembunuhan pada utusannya, Abrahah memuncak kemarahannya. Tetapi ia menyadari bahwa tidak mungkin menyerang dan menaklukkan semua kabilah yang menyebar seantero Jazirah Arabia itu, yang di antara mereka dipisahkan bermil-mil padang pasir. Dalam pemikirannya, kalau Baitullah dan Ka’bah telah hilang, maka akan mudah menggiring masyarakat Arab untuk mendatangi Qalis di Shan’a, karena itu ia memutuskan untuk menyerang dan menghancurkan Ka’bah di Makkah tersebut.
Abrahah menghimpun pasukan yang sangat besar untuk merealisasikan maksudnya, yakni hingga enampuluh ribu prajurit. Para komandan pasukan berkendaraan gajah, ada tigabelas ekor (atau sembilan ekor pada riwayat lainnya) gajah di antara tunggangan lainnya, dan Abrahah menunggangi gajah yang terbesar. Beberapa kabilah sempat melakukan perlawanan untuk membatalkan maksud Abrahah, tetapi dengan mudah mereka dapat dikalahkan. Sepanjang perjalanan ke Makkah mereka juga menjarah harta dan ternak para kabilah yang dilaluinya, termasuk duaratus ekor unta milik Abdul Muthalib.
Pasukan bergajah tersebut beristirahat di luar kota Makkah, dan Abrahah mengirim utusan untuk menemui sayyid (sesepuh) kota Makkah yang juga kepada suku Quraisy, yang tak lain adalah kakek Nabi Muhammad SAW, Abdul Muthalib. Utusan tersebut berkata kepada Abdul Muthalib, “Raja Abrahah berpesan bahwa dia tidak bermaksud memerangi bangsa Quraisy, tetapi hanya bermaksud meruntuhkan Ka’bah. Jika tuan dan bangsa tuan tidak menghalangi, tidak akan terjadi pertumpahan darah. Dan Raja berharap tuan bersedia menemuinya!!”
Abdul Muthalib berkata, “Demi Allah, kami tidak mempunyai kekuatan untuk memerangi tentara rajamu. Dan aku memang bermaksud untuk menemuinya!!”
Maka mereka berdua segera menghadap Abrahah di perkemahannya, dan Abdul Muthalib diperlakukan dengan penuh kehormatan. Abdul Muthalib berkata, “Wahai raja Abrahah, tolong dikembalikan duaratus ekor unta milik saya yang telah engkau ambil dari penggembala saya…!!”
Abrahah memandangnya penuh keheranan, dan berkata, “Kami datang untuk meruntuhkan Ka’bah, tetapi engkau hanya membicarakan unta-unta milikmu itu? Bagaimana dengan agama dan Ka’bah yang selama ini kalian puja-puja? ”
“Saya hanya tuannya unta-unta itu. Sedangkan Ka’bah mempunyai Tuannya sendiri yang akan memeliharanya!!” Kata Abdul Muthalib.
Abrahah menegaskan, “Jadi engkau tidak akan menghalangi kami?”
“Sama sekali tidak!! Hanya saja berilah kami sedikit waktu untuk mengucapkan salam perpisahan kepada Ka’bah sebelum engkau menghancurkannya!!”
Abrahah sangat gembira dengan jawaban tersebut, dan memerintahkan pasukannya untuk mengembalikan duaratus unta milik Abdul Muthalib tersebut. Kemudian Abdul Muthalib dan beberapa pemuka Quraisy menghampiri Ka’bah, berdoa kepada Allah untuk memelihara Ka’bah dari pasukan Abrahah. Dan sebelum mereka pergi ke tempat perlindungan di bukit-bukit sekeliling Makkah, sebagaimana penduduk lainnya, masing-masing dari mereka mencium Ka’bah dengan air mata bercucuran penuh kesedihan sebagai salam perpisahan.
Abrahah menggerakkan pasukannya memasuki kota Makkah yang telah kosong layaknya kota mati. Ia berjalan dengan pongahnya seolah-olah kemenangan telah berada di genggamannya. Ketika tiba di Wadi Mahsar yang berada di antara Mina dan Muzdalifah, gajah-gajah tersebut tiba-tiba menderum (duduk) dan tidak mau bergerak maju, begitu juga dengan tunggangan-tunggangan lainnya. Tetapi jika diarahkan ke tempat lain menjauhi Ka’bah, binatang itu segera bergerak cepat seolah-olah ingin melarikan diri. Jika diarahkan kembali menuju Ka’bah, tiba-tiba mereka menderum dan tidak mau bergerak maju.
Ketika Nabi SAW dan kaum muslimin ingin melakukan umrah yang kemudian berakhir dengan Perjanjian Hudaibiyah, Unta Nabi SAW yang bernama Al Qashwa tiba-tiba menderum ketika tiba di Tsaniyyatul Murar. Mereka beranggapan mungkin unta itu lelah dan perlu beristirahat sebentar. Tetapi setelah cukup istirahat dan diberdirikan lagi untuk meneruskan perjalanan ke Makkah, Al Qashwa menderum lagi. Maka Nabi SAW bersabda, “Tidaklah al Qashwa itu menderum atas kemauannya sendiri, sesungguhnya ia ditahan oleh (malaikat) yang dahulu menahan pasukan bergajah Abrahah…!!”
Dalam keadaan seperti itu, dimana Abrahah tidak mampu menggerakkan pasukannya, tiba-tiba Allah mendatangkan ribuan burung Ababil di atas mereka. Burung-burung yang menyerupai burung Khathathif dan Balsan itu, masing-masing membawa tiga batu sebesar kacang kedelai dari tanah yang sangat panas, dua di cengkeraman kaki dan satu di paruhnya. Batu-batu itu dijatuhkan ke tentara Abrahah dan tepat mengenai satu persatu dari mereka. Ada riwayat yang menyebutkan, pada masing-masing batu itu tertulis nama-nama dari tentara Abrahah, sehingga tidak satupun yang lolos.
Sebagian besar langsung mati di tempat, tetapi ada juga yang bisa melarikan diri dalam keadaan luka dan mengidap penyakit, hanya saja akhirnya mati juga secara mengenaskan, termasuk di antaranya Abrahah sendiri. Ia mati ketika tiba di Shan’a. Begitu Dahsyatnya kejadian tersebut hingga Al-Qur’an menggambarkan keadaan tentara gajah “Laksana Daun-daun Yang Dimakan Ulat” (Ibnu Ghufron)
No comments:
Post a Comment