Monday, August 31, 2015

Yang Membatalkan Ji'alah (Kitab Mu'amalat Bagian 24)

Yang Membatalkan Ji'alah (Kitab Mu'amalat Bagian 24)

Yang Membatalkan Ji'alah (Kitab Mu'amalat Bagian 24)

Tiap-tiap keduanya, boleh menghentikan perjanjian (membatalkannya) sebelum bekerja. Kalau yang membatalkannya orang yang bekerja dia tidak mendapat upah walau dia sudah bekerja sekalipun.

Tetapi kalau yang membatalkan dari pihak yang menjanjikan upah, yang bekerja berhak menuntut upah sebanyak pekerjaan yang sudah dia kerjakan.

Ji'alah (Kitab Mu'amalat Bagian 23)

Ji'alah (Kitab Mu'amalat Bagian 23)

Ji'alah (Kitab Mu'amalat Bagian 23)

Ji'alah yaitu minta kembalikan barang yang hilang dengan bayaran yang ditentukan, seperti seorang kehilangan kuda, dia berkata: "Barangsiapa yang mendapatkan kudaku dan dia kembalikan kepadaku, aku bayar sekian".

Rukun Ji'alah:

1. Lafaz.
Hendaklah kalimat lafaz itu mengandung arti izin kepada yang akan bekerja, juga tidak ditentukan waktunya.

2. Orang yang menjanjikan upahnya.
Yang menjanjikan upah itu boleh yang kehilangan atau orang lain.

3. Upah.
Disyaratkan keadaan upah, barang yang tertentu.

Kalau yang kehilangan berseru kepada umum: "Siapa yang mendapatkan barangku akan saya beri uang sekian". Kemudian dua orang bekerja mencari barang itu sampai keduanya mendapat barang itu bersama-sama, maka upah yang diijanjikan tadi berserikat antara keduanya.

Batalnya Aqad Sewa-Menyewa (Kitab Mu'amalat Bagian 22)

Batalnya Aqad Sewa-Menyewa (Kitab Mu'amalat Bagian 22)

Batalnya Aqad Sewa-Menyewa (Kitab Mu'amalat Bagian 22)

Sewa menyewa ada dua cara:

1. Menyewa barang yang tertentu seperti kuda ini, rumah ini, disini habis masa menyewa, dengan sebab matinya kuda atau robohnya rumah atau habis masa yang dijanjikan. Sekiranya barang yang disewa itu dijual oleh yang mempersewakan, aqad sewa-menyewa tidak batal, tetapi terus sampai habis masanya. Hanya yang menyewa hendaklah berhubungan langsung dengan yang membeli rumah itu.

2. Menyewa barang yang dalam tanggungan seseorang, seperti menyewa mobil yang tidak ditentukan mobil mana, maka rusaknya mobil yang dinaiki tidak membatalkan aqad sewa-menyewa, tetapi berlaku sampai habis masanya. Yang mempersewakan wajib mengganti dengan mobil yang lain sehingga habis masanya atau sampai ke tempat yang ditentukan. Juga aqad sewa-menyewa tidak batal dengan sebab matinya seorang yang menyewa atau yang mempersewakan, tetapi boleh diteruskan oleh waris masing-masing.

Upah Mengajar Al-Qur'an dan Ilmu Pengetahuan (Kitab Mu'amalat Bagian 21)

Upah Mengajar Al-Qur'an dan Ilmu Pengetahuan (Kitab Mu'amalat Bagian 21)

Upah Mengajar Al-Qur'an dan Ilmu Pengetahuan (Kitab Mu'amalat Bagian 21)

Setengah ulama membolehkan mengambil upah mengajar Al Qur'an dan ilmu pengetahuan yang bersangkutan dengan agama, sekadar butuh keperluan hidup, walaupun mengajar memang kewajiban mereka, karena mengajar itu memakai waktu yang harus mereka gunakan untuk perusahaan mereka yang lain.

Kata Muhammad Rasyid Ridha:
"Saya telah mendengar dari Syeikh Muhammad Abduh, beliau mengatakan: Guru-guru yang mendapat gaji dari wakaf, hendaklah mereka ambil gaji itu, kalau mereka membutuhkan, dengan tidak disengaja sebagai upah. Dengan cara demikian mereka akan mendapat ganjaran juga dari Allah sebagai penyiar agama".

Menyewa Pohon Untuk Mengambil Buahnya (Kitab Mu'amalat Bagian 20)

Menyewa Pohon Untuk Mengambil Buahnya (Kitab Mu'amalat Bagian 20)

Menyewa Pohon Untuk Mengambil Buahnya (Kitab Mu'amalat Bagian 20)

Setengah ulama berpendapat, bahwa manfaat yang disewa itu hendaklah jangan sampai mengandung lenyapnya suatu yang berupa zat, hanya harus semata-mata manfaat saja. Ulama yang berpendapat demikian tidak membolehkan menyewa pohon-pohonan untuk mengambil buahnya, begitu juga menyewa binatang untuk mengambil bulunya, dan sebagainya.

Setengah ulama yang lain berpendapat, tidak ada halangan menyewa pohon-pohonan karena buahnya, berlaku seperti menyewa seorang perempuan untuk menyusukan anak. Sedang menyewa seorang perempuan untuk mengambil manfaat susunya, terang boleh menurut ayat yang kami tulis di artikel sebelumnya, karena faedah yang diambil dari sesuatu dengan tidak mengurangi pokoknya (asalnya) sama artinya dengan manfaat.

Mempersewakan (Kitab Mu'amalat Bagian 19)

Mempersewakan (Kitab Mu'amalat Bagian 19)

Mempersewakan (Kitab Mu'amalat Bagian 19)

Mempersewakan yaitu aqad atas manfaat yang dimaksud lagi diketahui dengan tukaran yang diketahui, menurut syarat-syarat yang akan datang.

Keterangan

Firman Allah SWT:
"Jika perempuan menyusukan akan anak kamu, maka hendaklah kamu beri upah (sewa) mereka. QS.At Thalaq:6".

Sabda Rasulullah SAW:
"Sesungguhnya Rasulullah SAW telah pernah berbekam kepada seseorang dan beliau memberi upah tukang bekam itu. HR.Bukhari dan Muslim".

Rukunnya:

1. Yang menyewa dan yang mempersewakan.

Syarat keduanya:

a. Berakal.

b. Dengan kehendak sendiri (bukan dipaksa).

c. Keadaan keduanya tidak bersifat mubazir.

d. Baligh (sampai sedikitnya umur 15 tahun).

Syarat-syarat ini semuanya sama menjadi syarat penjual dan pembeli.

2. Sewa.

Disyaratkan keadaan sewa diketahui dalam beberapa hal:

a. Jenisnya.

b. Kadarnya.

c. Sifatnya.

3. Manfaat.

Syarat Manfaat:

a. Manfaat yang berharga.
Manfaat yang tidak berharga, ada kalanya karena sedikitnya seperti menyewa mangga untuk dicium baunya, sedang yang di maksud dari mangga untuk di makan. Atau karena ada larangan dari agama, seperti menyewa seseorang untuk membinasakan orang lain.

b. Keadaan manfaat dapat diberikan oleh yang mempersewakan.

c. Diketahui kadarnya dengan jangka waktu seperti menyewa rumah satu bulan atau satu tahun, atau diketahui dengan pekerjaan seperti menyewa mobil dari Jakarta sampai ke Bogor, dan seperti menjahit satu stel jas. Kalau pekerjaan itu tidak jelas melainkan dengan beberapa sifat harus diterangkan semuanya, seperti membikin dinding umpamanya, harus diterangkan: dinding dari apa, dari kayu atau dari batu, berapa panjangnya, berapa lebarnya dan tebalnya.

Zakat Paroan Sawah atau Ladang (Kitab Mu'amalat Bagian 18)

Zakat Paroan Sawah atau Ladang (Kitab Mu'amalat Bagian 18)

Zakat Paroan Sawah atau Ladang (Kitab Mu'amalat Bagian 18)

Zakat hasil paroan ini diwajibkan atas orang yang punya benih, jadi pada Muzara'ah, zakat wajib atas pak tani yang bekerja. Pada hakikatnya dialah yang bertanam, yang punya tanah seolah-olah mengambil sewa tanahnya, sedang penghasilan dari sewaan, tidak wajib dikeluarkan zakatnya.

Adapun pada Mukhabarah, zakat diwajibkan atas yang punya tanah karena hakikatnya dialah yang bertanam, pak tani hanya mengambil upah bekerja. Penghasilan yang didapat dari upah tidak wajib dibayar zakatnya. Kalau benih dari keduanya, zakat wajib atas keduanya, diambil dari jumlah pendapatan sebelum dibagi.

Muzara'ah dan Mukhabarah / Paroan Sawah Atau Ladang (Kitab Mu'amalat Bagian 17)

Muzara'ah dan Mukhabarah / Paroan Sawah Atau Ladang (Kitab Mu'amalat Bagian 17)

Muzara'ah dan Mukhabarah / Paroan Sawah atau Ladang (Kitab Mu'amalat Bagian 17)

Muzara'ah : Paroan sawah atau ladang, seperdua atau sepertiga atau lebih atau kurang, sedang benihnya dari pak tani (yang bekerja).

Mukhabarah : Paroan sawah atau ladang, seperdua atau sepertiga atau lebih atau kurang, sedang benihnya dari yan punya tanah.

Setengah ulama melarang akan paroan tanah semacam ini, mereka beralasan dengan hadits yang melarang paroan ini, hadits itu ada dalam kitab hadits Bukhari dan Muslim, diantaranya:

Sabda Rasulullah SAW:
"Berkata Rafi' bin Khadij: Diantara Anshar yang paling banyak mempunyai tanah adalah kami, maka kami persewakan, sebagian tanah untuk kami dan sebagian untuk mereka yang mengerjakannya, terkadang-kadang sebagian tanah itu berhasil baik dan yang lain tidak berhasil, maka oleh karenanya Rasulullah SAW melarang paroan dengan cara demikian. HR.Bukhari".

Ulama yang lain berpendapat tidak ada halangan, pendapat ini dikuatkan oleh Nawawi, Ibnu Munzir dan Khattabi, mereka mengambil alasan dengan hadits Ibnu Umar.

Sabda Rasulullah SAW:
"Dari Ibnu Umar: Sesungguhnya Nabi besar SAW telah memberikan kebun beliau kepada penduduk Khaibar agar dipelihara oleh mereka dengan perjanjian mereka akan diberi sebagian dari penghasilan, baik dari buah-buahan atau hasil pertahunan (palawija). HR.Muslim".

Adapun hadits yang melarang tadi maksudnya hanya apabila ditentukan penghasilan dari sebagian tanah, mesti kepunyaan salah seorang di antara mereka. Karena memang kejadian di masa dahulu, mereka memarokan tanah dengan syarat dia akan mengambil penghasilan dari sebagian tanah yang lebih subur. Keadaan inilah yang dilarang oleh junjungan Nabi besar SAW dalam hadits yang melarang itu, karena pekerjaan demikian bukanlah dengan cara adil dan insaf dan juga tidak diketahui persentase bagian masing-masing. Pun pendapat ini dikuatkan dan dengan alasan bila dipandang dari arah kemaslahatan dan hajat orang banyak. Memang kalau kita selidiki buah dari adanya paroan ini terhadap umum sudah tentu kita akan lekas mengambil keputusan yang sesuai dengan pendapat yang kedua ini.

Musaqqah / Paroan Kebun (Kitab Mu'amalat Bagian 16)

Musaqqah / Paroan Kebun (Kitab Mu'amalat Bagian 16)

Musaqqah / Paroan Kebun (Kitab Mu'amalat Bagian 16)

Musaqah yaitu yang punya kebun memberikan kebunnya pada tukang kebun agar dipeliharanya dan penghasilan yang dapat dari kebun itu dibagi antara keduanya menurut perjanjian keduanya sewaktu aqad.

Aqad ini diharuskan (dibolehkan) oleh agama, karena banyak yang butuh kepadanya. Memang banyak orang yang mempunyai kebun sedang dia tidak dapat memeliharanya, sedang yang lain tidak mempunyai kebun tetapi sungguh bekerja, maka dengan adanya peraturan ini keduanya dapat hidup dengan baik, hasil negara pun bertambah banyak, masyarakat bertambah makmur.

Sabda Rasulullah SAW:
"Dari Ibnu Umar: Sesungguhnya Nabi besar SAW telah memberikan kebun beliau kepada penduduk Khaibar agar dipelihara oleh mereka dengan perjanjian, mereka akan diberi sebagian dari penghasilannya, baik dari buah-buahan atau hasil pertahunan
  • Penjelasan:
    Pertahunan tafsir dari (Zar'in) menurut bahasa Arab artinya tanaman yang berbuah hanya satu kali, seperti padi, jagung dan sebagian kacang.
  • (palawija). HR.Muslim".


    Rukunnya:

    1. Yang punya kebun dan tukang kebun (yang mengerjakan): keadaan keduanya hendaklah orang yang sama berhak bertasaruf (membelanjakan) harta keduanya.

    2. Kebun, semua pohon yang berbuah, boleh diparohkan demikian juga hasil pertahunan (palawija) pun boleh, menurut hadits yang tersebut diatas. Yang kita maksud dengan "hasil pertahunan" atau palawija, sekalian tanaman yang hanya berbuah satu kali saja, sesudah berbuah satu kali itu pohonnya lalu mati, seperti padi, jagung dan sebagainya. Kita bedakan ini dengan buah-buahan yang lain karena hukumnya sering berbeda.

    3. Pekerjaan, hendaklah ditentukan masanya seperti satu tahun, dua tahun atau lebih sekurang-kurang masa kira-kira menurut adat dalam masa itu kebun sudah mungkin berbuah. Pekerjaan yang wajib dikerjakan oleh tukang kebun, semua pekerjaan yang bersangkutan dengan penjagaan kerusakan dan pekerjaan (perawatan yang berfaedah) untuk buah, seperti menyiram, merumput dan mengawinkannya.

    4. Buah, hendaklah ditentukan bagian masing-masing (yang punya kebun dan tukang kebun) seperti seperdua, sepertiga, atau berapa saja asal dengan sefakat keduanya di waktu aqad.

    Qiradh (Kitab Mu'amalat Bagian 15)

    Qiradh (Kitab Mu'amalat Bagian 15)

    Qiradh (Kitab Mu'amalat Bagian 15)

    Memberikan pokok/modal dari seorang kepada seorang yang lain untuk diperniagakannya sedang keuntungan untuk keduanya menurut perdamaian (perjanjian) antara keduanya sewaktu aqad, dibagi dua atau dibagi tiga umpamanya.

    Keterangan

    "Telah dikerjakan oleh Rasulullah SAW mengambil pokok/modal dari Siti Khadijah, sewaktu beliau berniaga ke Syam dan ijma' sahabat".

    Qiradh memang telah ada di masa jahiliyah (sebelum Islam) kemudian ditetapkan (dibolehkan) oleh agama Islam.

    Diadakan peraturan qiradh, karena syarat dibutuhkan oleh sebagian dari umat manusia. Betapa tidak, seorang ada mempunyai pokok/modal tetapi tidak pandai berdagang atau tidak berkesempatan, sedang yang lain pandai dan pintar lagi mempunyai waktu yang cukup, tetapi dia tidak mempunyai pokok. Dalam qiradh berarti juga untuk kemajuan bersama dalam perdagangan juga mengandung arti tolong-menolong.

    Rukun Qiradh

    1. Harta (pokok), baik berupa uang atau lainnya, keadaan pokok hendaklah diketahui banyaknya.

    2. Pekerjaan, yaitu dagang dan lain-lainnya yang bersangkutan dengan urusan perdagangan itu, barang yang hendak diperdagangkan begitu juga tempat, hendaknya tidak ditentukan hanya diserahkan saja kepada yang bekerja, barang apa dan di tempat manapun, asal menurut pandangannya ada harapan untuk mendapat keuntungan.

    3. Keuntungan, banyaknya keuntungan untuk yang bekerja hendaklah ditentukan sewaktu aqad, persentase dari jumlah keuntungan, seperdua atau sepertiga umpamanya.

    4. Yang punya pokok dan yang bekerja, disyaratkan keadaan keduanya orang berakal dan sudah balig (sampai umur 15 tahun).

    Cara Bekerja

    Yang bekerja hendaklah bekerja dengan ikhlas tidak boleh mengutangkan barang dan juga tidak boleh membawa barang keluar negerim kecuali dengan izin yang punya pokok dan juga tidak boleh membelanjakan uang qiradh untuk dirinya sendiri, pun bersedekah dari barang qiradh tidak boleh juga: Belanja untuk keperluannya sendiri hendaklah diambil dari kantongnya sendiri.

    Oleh karena yang bekerja wajib ikhlas dalam segala urusan yang bersangkutan dengan qiradh, maka ia hendaklah dibenarkan dengan sumpahnya, sekiranya ia mengatakan tidak beruntung atau hanya sedikit. Begitu juga tentang banyak dan sedikitnya pokok atau dia mengatakan pokok hilang, semua dakwaan tersebut hendaklah diterima dengan sumpahnya.

    Kalau berselisih antara keduanya (yang bekerja dan yang punya pokok) tentang pembagian keuntungan, umpamanya yang bekerja mengatakan untuk dia seperdua, sedang yang punya pokok mengatakan sepertiga, kedua-duanya hendaklah bersumpah dan yang bekerja diberi keuntungan menurut kebiasaan yang berlaku di tempat dan waktu itu.

    Aqad Qiradh adalah aqad percaya mempercayai, maka sekiranya ada barang yang hilang yang bekerja tidak wajib mengganti, kecuali apabila disebabkan karena teledor.

    Kerugian hendaklah ditutup (diganti) dengan keuntungan, kalau masih juga rugi kerugian itu hendaklah dipikul oleh yang punya pokok sendiri, berarti yang bekerja tidak dituntut mengganti kerugian.

    Syarikat Kerja (Kitab Mu'amalat Bagian 14)

    Syarikat Kerja (Kitab Mu'amalat Bagian 14)

    Syarikat Kerja (Kitab Mu'amalat Bagian 14)

    Yaitu dua orang ahli kerja atau lebih bermufakat atas sesuatu pekerjaan supaya keduanya sama-sama mengerjakan pekerjaan itu. Penghasilan (upahnya), untuk mereka bersama menurut perjanjian antara mereka, baik kepandaian keduanya sama atau berlainan, seperti tukang kayu dengan tukang kayu atau tukang besi dengan tukang batu. Begitu juga penghasilan, sama atau tidaknya menurut perdamaian antara keduanya, hanya hendaknya ditentukan perbandingannya sewaktu aqad. Termasuk juga dalam syarikat kerja, syarikat mencari ikan atau memburu binatang darat, begitu juga mengambil barang-barang yang halal dari laut atau dari bumi, seperti perkongsian untuk mengambil kayu dari hutan yang tidak dimiliki oleh manusia, begitu juga mengambil batu dari sungai yang tidak dimiliki orang.

    Hukum Syarikat

    Syarikat yang pertama (syarikat 'inan) telah sepakat ulama mengatakan sahnya; hanya ada sedikit perbedaan faham tentang syarat-syarat dan cara-caranya.

    Adapun yang kedua (syarikat kerja) menurut mazhab Syafi'i tidak sah dan tidak boleh, tetapi mazhab yang lain berpendapat boleh dan sah. Sesungguhnya kalau kita perhatikan betapa butuh masyarakat dan perseorangan kepada perkongsian kerja ini, tentu kita akan sefaham dengan pendapat yang kedua ini.

    Faedah Syarikat

    Sudah tentu tidak asing lagi bagi kita semua bahwa perkongsian itu adalah suatu jalan yang baik untuk kemajuan suatu bangsa, malahan dapat pula menjadi jalan untuk meneguhkan tali perhubungan antara satu bangsa dengan satu bangsa, satu umat dengan umat yang lain. Dengan perkongsian perusahaan dan perdagangan, akan lebih pesat, perhubungan dari negeri ke negeri yang lain dapat lebih mudah malahan perhubungan negara dengan negara akan lebih lancar dan ilmu pengetahuan jadi lekas tersiar. Sesungguhnya banyak pekerjaan yang penting, sukar sulit, tidak dapat dikerjakan oleh perseorangan dan tidak dapat dengan pokok/modal yang sedikit, tetapi harus dengan tenaga dan pokok bersama (gotong royong).

    Syarikat 'Inan / Syarikat Harta (Kitab Mu'amalat Bagian 13)

    Syarikat 'Inan / Syarikat Harta (Kitab Mu'amalat Bagian 13)

    Syarikat 'Inan / Syarikat Harta (Kitab Mu'amalat Bagian 13)

    Yaitu aqad dari dua orang atau lebih untuk berserikat pada harta yang ditentukan oleh keduanya dengan maksud mendapat keuntungan dan keuntungan itu untuk mereka yang bersyarikat itu.

    Sabda Rasulullah SAW:
    "Kata Rasulullah SAW: Allah SWT telah berkata: Saya adalah orang yang ketiga dari dua orang yang berserikat, selama salah seorang diantaranya tiada mengkhianati yang lain maka apabila berkhianat salah seorang diantara keduanya, saya keluar dari perserikatan keduanya. HR.Abu Daud dan Hakim".

    Berarti Allah SWT akan menolong kemajuan perserikatan, selama orang berserikat tetap ikhlas, tetapi apabila timbul pengkhianatan diantara mereka maka Allah akan mencabut kemajuan perserikatan mereka.

    Rukun Syarikat:

    1. Sighat (Lafaz Aqad).

    2. Orang yang bersyarikat.

    3. Pokok/Modal Pekerjaan.

    Syarat Lafaz:

    Kalimat aqad hendaklah mengandung arti izin buat membelanjakan barang syarikat, seperti dikatakan oleh salah seorang di antara keduanya: "Kita berserikat pada barang ini dan saya izinkan engkau menjalankannya dengan izin jual beli dan lain-lainnya". Jawab yang lain: "Saya terima seperti yang engkau katakan itu".

    Syarat Menjadi Anggota Perkongsian

    a. Orang yang berserikat hendaklah orang yang berakal.

    b. Baligh (sedikitnya sudah sampai umur 15 tahun).

    c. Merdeka dan dengan kehendaknya sendiri (tidak dipaksa).

    Syarat Pokok Perkongsian

    a. Keadaan pokok/modal hendaklah uang (emas dan perak) atau barang yang ditimbang atau ditakar, seperti beras, gula dan lain-lainnya.

    b. Dua barang pokok itu hendaklah dicampurkan sebelum aqad sehingga tidak dapat dibedakan lagi antara kedua bagian barang itu.

    Pokok dan kerja tidak perlu sama, tetapi boleh seorang memberi pokok Rp.1.000.000, dan yang lain Rp.500.000, begitu juga kerjanya, tidak berhalangan seorang bekerja satu hari dan yang lain setengah hari asal menurut permupakatan antara keduanya di waktu aqad.

    Keuntungan dan Kerugian

    Setengah ulama berpendapat bahwa keuntungan dan kerugian mesti menurut perbandingan pokok/modal. Sekiranya seorang berpokok Rp.1.000.000 sedang yang lain hanya Rp.500.000, yang pertama mesti mendapat 2/3 dari jumlah keuntungan dan yang kedua mendapat 1/3 dari jumlah keuntungan, begitu juga kerugian mesti menurut perbandingan pokok masing-masing. Setengah ulama berpendapat, tidak mesti sama menurut perbandingan pokok tetapi tidak ada halangan berlebih berkurang menurut perjanjian antara keduanya waktu mendirikan perserikatan.

    Pekerjaan

    Yang bekerja harus dengan ikhlas dan jujur, artinya semua pekerjaan harus berasas kemaslahatan dan keuntungan terhadap syarikat; dan tidak boleh membawa barang keluar negeri, melainkan dengan izin peserta-pesertanya; pun tidak boleh menyerahkan barang kepada orang lain, kecuali dengan izin peserta-pesertanya.

    Syarikat / Perseroan (Kitab Mu'amalat Bagian 12)

    Syarikat / Perseroan (Kitab Mu'amalat Bagian 12)

    Syarikat / Perseroan (Kitab Mu'amalat Bagian 12)

    Syarikat ada beberapa macam, tetapi akan kami jelaskan dua macam saja di artikel lainnya karena dua itu yang lebih penting dan berguna untuk kita semua.

    1. Syarikat 'Inan (Syarikat Harta).

    2. Syarikat Kerja.

    Salam (Kitab Mu'amalat Bagian 11)

    Salam (Kitab Mu'amalat Bagian 11)

    Salam (Kitab Mu'amalat Bagian 11)

    Salam yaitu menjual sesuatu yang tidak dilihat zatnya, hanya ditentukan dengan sifat, barang itu ada didalam pengakuan (tanggungan) si penjual. Misalnya, kata si penjual: "Saya jual kepadamu satu meja tulis dari jati, besarnya 140X100 CM, tingginya 75 CM. Sepuluh laci dengan harga Rp.4.000.000; kata si pembeli: "Saya beli meja dengan sifat tersebut dengan harga Rp.4.000.000"; dia membayar uangnya sewaktu aqad itu juga, tetapi mejanya belum ada. Jadi salam ini jual beli utang dari pihak si penjual, dan kontan dari pihak si pembeli karena uangnya telah dibayar sewaktu aqad.

    Keterangan Firman Allah SWT:
    "Hai orang-orang yang beriman apabila kamu berpiutang hingga masa (janji) yang ditetapkan, hendaklah kamu tuliskan perjanjian itu. QS.Al Baqarah:282".

    Kata Ibnu Abbas yang dimaksud dengan utang disini ialah utang salam.

    Rahasia Salam

    Orang yang mempunyai perusahaan sering kali butuh kepada uang guna untuk keperluan perusahaan mereka malah sewaktu-waktu sampai terhalang perusahaannya karena kekurangan pokok (modal). Sedang si pembeli selain dari dia akan mendapat barang yang sesuai dengan kemauannya dan sudah menolong akan kemajuan perusahaan saudaranya, maka untuk kepentingan tersebut Allah mengadakan peraturan salam.

    Rukun Salam

    1. Si penjual dan si pembeli.

    2. Barang dan uang.

    3. Sighat (lafaz aqad).

    Syarat-Syaratnya:

    1. Uang harganya hendaklah dibayar di majelis aqad, berarti pembayaran lebih dulu.

    2. Barangnya menjadi utang atas si penjual.

    3. Barangnya dapat diberikan sewaktu janjinya sampai, berarti pada waktunya yang dijanjikan barang itu biasanya telah ada, sebab itu mensalam buah-buahan yang ditentukan waktunya bukan pada musimnya, tidak sah.

    4. Barang itu hendaklah jelas ukurannya, baik dengan takaran atau timbangan atau ukuran atau bilangan menurut kebiasaan cara menjual barang semacam itu.

    5. Diketahui dan disebutkan sifat-sifat barangnya yang berarti dengan sifat itu dapat berbeda harga dan kemauan orang pada barang itu. Sifat-sifat ini hendaknya jelas sehingga tidak ada keraguan yang akan mengakibatkan perselisihan nanti antara kedua belah pihak (si penjual dan si pembeli), begitu juga macamnya harus pula disebut, seperti daging kambing atau daging sapi atau kerbau umpamanya.

    6. Disebutkan tempat menerimanya. Kalau tempat aqad tidak layak buat menerima barang itu. Aqat salam mesti terus, berarti tidak ada khiyar syarat.

    Bank (Kitab Mu'amalat Bagian 10)

    Bank (Kitab Mu'amalat Bagian 10)

    Bank (Kitab Mu'amalat Bagian 10)

    Adapun pendirian bank yang sudah sering menjadi pembicaraan oleh beberapa orang Islam yang terkemuka di Indonesia, baik dengan jalan pidato maupun di surat-surat kabar, tentang hal ini hendaklah diadakan permusyawaratan, dari dua golongan:

    1. Golongan Alim Ulama (ahli agama) yang betul-betul memikirkan kepentingan agama dan masyarakat.

    2. Dari pihak ahli ekonomi yang mengetahui benar-benar segala seluk-beluknya bank dan perdagangan. Permusyawaratan kedua kaum cerdik pandai itu tentu akan didasarkan atas keadaan dan kemaslahatan masyarakat dengan tidak mengenyampingkan pokok-pokok agama Islam.

    Dengan permusyawaratan itu mereka dapat memutuskan bahwa pendirian bank dapat dilakukan dengan cara yang tidak termasuk golongan riba, atau barangkali memang sudah sampai kepada arti "darurat".

    Qaidah (Kitab Mu'amalat Bagian 9)

    Qaidah (Kitab Mu'amalat Bagian 9)

    Qaidah (Kitab Mu'amalat Bagian 9)

    1. Sesuatu yang dilarang karena zatnya, tidak dibolehkan melainkan apabila terpaksa, tidak ada jalan lain.

    2. Yang dilarang guna penutup pintu kejahatan, dibolehkan karena butuh (maslahat).

    Riba (Kitab Mu'amalat Bagian 8)

    Riba (Kitab Mu'amalat Bagian 8)

    Riba (Kitab Mu'amalat Bagian 8)

    Asal makna riba menurut bahasa Arab; lebih (bertambah). Adapun yang dikehendaki disini menurut istilah syara': aqad yang terjadi dengan penukaran yang tertentu, tidak diketahui sama atau tidaknya menurut aturan syara' atau terlambat menerimanya.

    Beberapa Macam Riba:

    Menurut pendapat setengah ulama, riba ada empat bagian:

    1. Riba Fadhli (Menukarkan dua barang yang sejenis dengan tidak sama).

    2. Riba Qardhi (Meminjam dengan syarat ada keuntungan bagi yang mempiutangi).

    3. Riba Yad (Bercerai dari tempat aqad sebelum timbang terima0.

    4. Riba Nasa' (Penukaran yang disyaratkan terlambat salah satu dua barang).

    Sebagian ulama membagi riba itu atas tiga bagian saja, yaitu: riba fadhli, riba yad, dan riba nasa'. Riba qardhi termasuk riba nasa'. Barang-barang yang berlaku riba padanya emas, perak dan makanan yang mengenyangi atau yang berguna untuk yang mengenyangi seperti garam. Jual beli barang tersebut, kalau sama jenisnya seperti emas dengan emas, gandum dengan gandum disyaratkan tiga syarat: 1.Tunai. 2.Timbang terima, 3.Sama timbangan atau sukatannya. Kalau berlainan jenisnya, satu 'ilat ribanya seperti emas dengan perak, boleh tidak sama dengan timbangannya atau sukatannya, tetapi mesti tunai dan timbang terima. Kalau berlainan jenis dan 'ilat ribanya seperti perak dengan beras boleh jual bagaimana saja seperti barang-barang yang lain, berarti tidak disyaratkan suatu syarat dari yang ketiga itu.

    Sabda Rasulullah SAW:
    "Dari 'Ubadah bin Shamit, Nabi berkata: Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, syair dengan syair, kurma dengan kurma, garam dengan garam, hendaklah sama banyaknya, tunai dan timbang terima, apabila berlainan jenisnya boleh kamu jual sekehendakmu asal tunai. HR.Muslim dan Ahmad".

    Beberapa Ayat dan Hadits Yang Melarang Riba

    1. Firman Allah SWT:
    "Hai segala orang yang beriman janganlah kamu makan riba yang berganda-ganda, dan takutlah kamu kepada Allah mudah-mudahan kamu dapat kemenangan. QS.Ali Imran:130".

    2. Firman Allah SWT:
    "Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. QS.Al Baqarah:275".

     3. Firman Allah SWT:
    "Hai orang-orang yang beriman takutlah kamu kepada Allah dan tinggalkanlah sisa-sisa riba itu, jika kamu orang beriman. Apabila kamu tidak mengindahkan (tidak menghentikan), ketahuilah Tuhan Allah dan RasulNya akan memerangi kamu, dan jika kamu sudah taubat (berhenti) maka bagimu asal (pokok) hartamu, tidaklah kamu menganiaya dan tiada pula dianiaya. QS.Al Baqarah:278-279".

    4. Firman Allah SWT:
    "Dimusnahkan Allah harta yang terjadi dari riba, dan ditambahkanNya harta sedekah. QS.Al Baqarah:276".

    5. Firman Allah SWT:
    "Harta yang kamu berikan kepada manusia dengan jalan riba supaya bertambah banyak dalam harta orang itu (bunganya) maka harta itu tidaklah akan bertambah pada sisi Allah. Dan harta yang kamu berikan dengan jalan zakat karena menurut perintah Allah, itulah yang akan berlipat ganda. QS.Ar Rum:39".

    6. Sabda Rasulullah SAW:
    "Dari Jabir: Telah melaknati (mengutuki) Rasulullah SAW akan orang yang makan riba, orang berwakil padanya penulisnya, dan dua saksinya. HR.Muslim".

    Dengan beberapa ayat tersebut, teranglah kepada kita bahwa riba itu betul-betul dilarang dalam agama Islam, tinggal pertanyaan, apakah semua riba tersebut (4 macam) diatas termasuk dalam arti ayat dan hadits itu? Jawab dari pertanyaan tersebut ada beberapa pendapat dari para ulama, akan tetapi berhubung maksud artikel kita ini hanya menguraikan dengan ringkas maka keterangan satu persatu akan kita terangkan nanti. Hanya disini kami jelaskan bahwa riba Nasi'ah jelas dilarang karena ayat tersebut diturunkan karenanya (kejadian di masa Jahiliyah). Jadi dengan perkataan yang lain sebab turunnya ayat, ialah dengan sebab adanya riba nasi'ah. Kata Ibnu Qaiyim dalam kitab "Ilamil-Muaqi'in": Riba Nasi'ah yaitu yang dilakukan oleh kamu jahili di masa jahiliyah, mereka mentakhirkan akan utang dari waktunya yang semestinya dengan menambah bayaran, nanti apabila terlambat lagi ditambah pula terus-menerus tiap-tiap keterlambatan wajib ditambah lagi, sampai utang yang asalnya seratus ribu rupiah menjadi jutaan rupiah. Kalau dengan gadai, barang yang tergadai tetap tergadai.

    Biasanya tidak ada yang mau melakukannya kecuali orang yang sangat butuh walaupun dia tahu dan yakin akan akibat yang akan menimpanya; tetapi karena butuh terpaksa dipikulnya juga meskipun akan meruntuhkan bahunya. Apabila yang berhutang memandang yang mempiutangnya tidak akan menda'wa, menagih juga pun tidak, bila diberinya bunganya, tentu akan diberinya walaupun tambahan yang diberikannya itu didapatnya dari pinjaman pula kepada orang lain, atau dengan menjual hartanya yang ada. Terus menerus keadaannya sedemikian, hingga habis hartanya. Sesudah habis hartanya, dia akan dapat tagihan terus-menerus terkadang-kadang sampai berakhir masuk penjara atau barangnya yang tergadai menjadi korban. Adakah kemudharatan dan kecelakaan yang lebih dari itu? Si kaya meskipun nampaknya dia dapat untung tetapi memudaratkan kepada saudaranya, berarti menganiaya  saudaranya sesama manusia serta akan mengalutkan keadaan masyarakat. Inilah yang dimaksud oleh ayat Allah yang melarang mengambil harta dengan jalan bathil, meskipun sekarang si kaya kelihatan beruntung tetapi kalau kita ingat firman Allah dalam surah Al Baqarah ayat 276 dan surah Ar Rum ayat 39 yang diatas kita percaya bahwa hartanya itu tidak akan membuahkan kebaikan padanya.

    Dengan kerusakan masyarakat dan kemelaratan yang terjadi sebab ujudnya riba, maka Tuhan Allah Yang Maha Adil dan Mengetahui memerintahkan yang amat keras agar supaya riba dihapuskan, dilenyapkan dari muka bumi ini sampai Allah mengatakan orang yang tidak berhenti dari riba itu seolah-olah ia mengumumkan peperangan dengan Allah dan RasulNya.

    Riba Nasi'ah diharamkan karena nyata kemelaratan yang sangat besar serta riba yang lain karena menutup pintu kecelakaan.

    Nabi Menyambung Kembali Tangan Terpotong

    Sebagai seorang Nabi dan Rasul, Mukjizat adalah merupakan suatu keistimewaan yang Allah berikan kepada para Nabi, untuk menjadikan para ummatnya meyakini dengan sebenarnya bahwa mereka adalah utusan Allah. Begitu juga dengan baginda Muhammad SAW. Nabi Muhammad banyak memiliki mukjizat yang Allah berikan kepadanya, Sebagai bukti Kerasulan Beliau. Diantaranya Dalam kisah diceritakan oleh sahabat beliau bernama Anas bin Malik RA bahwa Rasulullah menyambung kembali tangan yang terpotong seorang badui yang dipakainya menampar Nabi. Bagaimana kisahnya ? berikut kisah selengkapnya.

    Ketika Nabi Muhammad saw memasuki rumah Siti Fatimah, di saat itu pula Fatimah mengadu bahwa dirinya sedang dalam keadaan lapar."
    "Ayah, kami sekeluarga sudah tiga hari tidak makan."
    Maka dengan rasa sedih perut beliau ditampakkan, yang saat itu diganjal dengan batu dan diikat pada perut beliau.
    "Fatimah," sabda beliau, "jika engkau tiga hari tidak makan, ayahmu sudah empat hari."

    Kemudian beliau keluar dari rumah itu sambil mengeluh, " Aduh kasihan, Hasan dan Husain sangat lapar!" Beliau terus melanjutkan perjalanan, hingga sampai ke luar kota Madinah. Kemudian langkah beliau terhenti ketika melihat orang Badui yang menimba air di sebuah sumur. Orang Badui itu tidak tahu bahwa yang berhenti itu adalah Rasulullah.
    "Hai Badui' ucap Rasulullah, "Adakah pekerjaan yang dapat kau berikan kepadaku?"
    "Ya," jawab Badui. "Kerja apa?" tanya Nabi.
    "Menimbakan air sumur ini," jawab Badui sambil memberikan timba kepada Nabi Muhammad saw. Beliau lalu menimba air sumur, dan Badui itu memberinya upah sebanyak tiga buah kurma. Nabi pun memakannya. Kemudian Nabi saw menimba lagi sebanyak delapan kali, tapi setelah mau masuk kesembilan kalinya, tali timba putus dan jatuh ke sumur, hingga Nabi saw berhenti dan merasa kebingungan. Melihat timba itu jatuh, si Badui datang memarahi dan menampar wajah beliau, kemudian ia membayar ongkosnya, sebanyak dua puluh empat butir kurma. Ongkos itu diambil oleh Nabi saw tanpa menunjukkan sikap marah, lalu beliau turun ke dalam sumur untuk mengambil timba yang terjatuh.

    Setelah timba itu dapat terambil dengan tangan beliau yang mulia, lalu dikembalikan kepada Badui itu. Segera si Badui meninggalkan tempat itu. Di tengah jalan ia tertegun dan berpikir sejenak. "Jangan-jangan orang itu adalah Nabi Muhammad," pikirnya. Kemudian ia mengambil pisau dan memotong tangan yang menampar tadi, sehingga ia pingsan ke tanah. 

    Beberapa saat kemudian datanglah sekelompok musafir lewat di tempat itu. Mereka tertegun ketika melihat orang Badui itu pingsan dan tangannya terpotong. Lalu mereka menyirami air ke sekujur tubuhnya sampai pulih kembali. Sesudah itu mereka bertanya,
    "Musibah apa yang menimpamu?"
    "Saya telah menampar wajah seseorang, yang saya sangka orang itu adalah Muhammad, karena itu saya potong tangan yang menamparnya, karena takut akan mendapat musibah” ulas Badui itu.

    Sehabis berkata begitu, ia mengambil tangannya yang dipotong, kemudian ia datang ke masjid. Setibanya di sana, ia memanggil-manggil, "Wahai sahabat! Mana yang bernama Muhammad? Mana Muhammad." la terus berkata begitu. Maka Abu Bakar, Umar, Usman, yang saat itu berdiam di masjid bertanya, "Mengapa kamu bertanya Nabi Muhammad?"
    "Saya harus berjumpa dengannya," jawab Badui itu.

    Salman kala mendengar kata itu, bangkit dan memegang tangan Badui, kemudian dibawa ke rumah Siti Fatimah. Setibanya di rumah, si Badui itu memanggil Nabi saw dengan suara keras, "Muhammad!" Saat itu Nabi Muhammad saw sedang mendudukkan Hasan di atas paha kanan dan Husein di atas paha kiri beliau sambil memberi kurma kepada mereka.

    Begitu Rasulullah mendengar panggilan itu, beliau menyuruh Fatimah untuk menemuinya.
    "Lihatlah, siapa di depan pintu itu!" sabda beliau. Siti Fatimah segera keluar menuju pintu, tiba-tiba ia tertegun ketika melihat orang Badui yang tangan kanannya terpotong dan dibawa dengan tangan kirinya serta darahnya masih mengalir.
    Melihat kenyataan ini, Siti Fatimah bergegas mendatangi Nabi Muhammad saw dan mengabarkan apa yang dilihatnya.

    Nabi Muhammad saw terkejut mendengar berita dari putrinya, lalu bangkit menuju pintu menemui Badui itu. Setelah melihat kedatangan Nabi saw, Badui itu berkata, "Maafkanlah aku Muhammad, karena saya tidak mengenalmu."
    "Mengapa tanganmu terpotong?" tanya beliau heran.
    "Tidak akan kekal tanganku yang telah menampar wajahmu."
    "Masuklah Islam, supaya kamu selamat."
    "Hai Muhammad! Kalau kau memang benar Nabi, perbaikilah tanganku” ujar Badui itu menguji Rasulullah.


    Beliau menatap sebentar pada tangannya yang dipotong itu, kemudian dengan hati-hati tangan itu disambung kembali ke tempat asal, kemudian diusap-usap dengan ludah sambil mengangkatnya. Maka dengan izin Allah tangan itu bisa tersambung kembali seperti sedia kala, dan orang Badui tersebut akhirnya masuk Islam. Wallahu A'lam ..[Kisah Orang Sabar]

    Saturday, August 29, 2015

    Kisah Pengemis Buta Penghina Rasulullah

    Kisah yang mengharukan kali ini adalah kisah Pengemis buta Yang selalu menghina Rasulullah SAW. Dari kisah ini terdapat tampilan pribadi Rasulullah SAW yang sesungguhnya, ia meninggalkan sebuah kesan yang sangat dalam yang tidak akan bisa terlupakan. Semoga kisah kali ini dapat menambah kecintaan kita terhadap Rasulullah sang panutan hidup kita. Berikut kisahnya :

    Di sudut pasar Madinah Al-Munawarah terdapat seorang pengemis Yahudi yang buta. Hari demi hari apabila ada orang yang mendekatinya ia selalu berkata "Wahai saudaraku jangan dekati Muhammad, dia itu orang gila, dia itu pembohong, dia itu tukang sihir, apabila kalian mendekatinya kalian akan dipengaruhinya."

    Setiap pagi Rasulullah mendatanginya dengan membawa makanan dan tanpa berkata sepatah kata pun Rasulullah menyuapi makanan yang dibawanya ke pada pengemis itu walaupun pengemis itu selalu berpesan agar tidak mendekati orang yang bernama Muhammad. Rasulullah melakukannya hingga menjelang beliau wafat.

    Setelah Rasulullah wafat, tidak ada lagi orang yang membawakan makanan setiap pagi kepada pengemis Yahudi yang buta itu. Suatu hari Abu Bakar ra berkunjung ke rumah putrinya Aisyah ra. Beliau bertanya, "Anakku adakah sunnah kekasihku yang belum aku kerjakan?"
    Aisyah menjawab pertanyaan ayahnya, "Wahai ayah, cngkau adalah scorang ahli sunnah hampir tidak ada satu sunnah pun yang belum ayah lakukan kccuali satu sunnah saja."
    "Apakah itu?" tanya Abubakar RA.
    "Setiap pagi Rasulullah selalu pergi ke ujung pasar dengan membawakan makanan untuk seorang pengemis Yahudi buta yang berada di sana” kata Aisyah.

    Setelah Mendengar penuturan putrinya, Keesokan harinya Abubakar RA pergi ke pasar dengan membawa makanan untuk diberikannya kepada pengemis itu. Abubakar RA mendatangi pengemis itu dan memberikan makanan itu kepadanya. Ketika Abubakar RA mulai menyuapinya, si pengemis marah sambil berteriak, "Siapakah kamu?"
    Abu Bakar ra menjawab, "Aku orang yang biasa membawa makanan untukmu"
    "Bukan! Engkau bukan orang yang biasa mendatangiku," jawab si pengemis buta itu. "Apabila ia datang kepadaku tidak susah tangan ini memegang dan tidak susah mulut ini mengunyah. Orang yang biasa mendatangiku itu selalu menyuapiku, tapi terlebih dahulu dihaluskannya makanan tersebut dengan mulutnya setelah itu ia berikan padaku dengan mulutnya sendiri," pengemis itu melanjutkan perkataannya.

    Abu Bakar RA tidak dapat menahan air matanya, ia menangis sambil berkata kepada pengemis itu, "Aku memang bukan orang yang biasa datang padamu. Aku adalah salah seorang dari sahabatnya, orang yang mulia itu telah tiada. Ia adalah Muhammad Rasulullah saw."

    Setelah pengemis itu mendengar cerita Abu bakar RA ia pun terperanjat dan menangis. kemudian Pengemis itu berkata, "Benarkah demikian?
    “Selama ini aku selalu menghinanya, memfitnahnya, ia tidak pemah memarahiku sedikit pun, bahkan ia mendatangiku dengan membawa makanan setiap pagi, ia begitu mulia."

    Akhirnya Pengemis Yahudi buta tersebut bersyahadat di hadapan Abubakar RA. Betapa Rasulullah SAW meninggalkan kesan yang begitu dalam pada hati pengemis tersebut. Semoga kisah ini memberikan inspiratif bagi kita untuk menjadi orang yang lebih sabar dan berpribadi yang lembut. Betapa perilaku lembut dapat meluluhkan hati Keras seseorang. Insya Allah !! 
    [Kisah Orang Sabar]

    Hukum-Hukum Yang Bersangkut Paut Dengan Jual Beli (Kitab Mu'amalat Bagian 7)

    Hukum-Hukum Yang Bersangkut Paut Dengan Jual Beli (Kitab Mu'amalat Bagian 7)

    Hukum-Hukum Yang Bersangkut Paut Dengan Jual Beli (Kitab Mu'amalat Bagian 7)

    1. Mubah (boleh), ialah asal hukum jual beli.

    2. Wajib, seperti wali menjual harta anak yatim apabila terpaksa, begitu juga qadhi menjual harta muflis (orang yang lebih banyak utangnya daripada hartanya). Nanti akan kami terangkan di artikel yang akan datang.

    3. Haram. Keterangan ada di artikel yang telah lalu macam-macam jual beli yang terlarang/dilarang.

    4. Sunnah. Seperti jual beli kepada sahabat atau famili yang dikasihi dan kepada orang yang sangat membutuhkan barang itu.

    Friday, August 28, 2015

    Sumur Zam-Zam Yang Menghilang Ditemukan Kembali

    Selain Peristiwa tentara gajah yang musnah dihancurkan burung ababil. Ada juga sebuah peristiwa ajaib yang terjadi sebelum lahirnya Nabi Muhammad SAW. Yaitu sumur zam-zam yang merupakan sumber kehidupan di sekitar baitullah (Ka’bah) dikota Mekkah. Berangsur-angsur sumur zam-zam mengering dan pada akhirnya menghilang tanpa jejak. Selama berabad-abad, orang-orang telah lama mencari keberadaan sumur tersebut dan menggalinya tetapi hasilnya nihil. Ternyata setelah Nabi Ismail wafat, kemaksiatan dan kemusrikan merajalela disekitar Ka’bah. Inilah yang mengakibatkan sumur zam-zam menghilang.

    Kejadian ini sampai pada masa Abdul Muthalib (kakek Nabi Muhammad). Abdul Muthalib adalah penjaga dan pengurus Baitullah. Hingga suatu saat Abdul Muthalib bermimpi, ia didatangi suara ghaib yang memerintahkannya untuk mencari dan menggali kembali sumur Zam-zam, sekaligus menunjukkan tempatnya, yang memang tepat seperti ketika pertama kali ditemukan oleh Nabi Ismail. Padahal berabad-abad sebelumnya, banyak sekali yang berusaha menggali di tempat yang sama, tetapi tidak memperoleh hasil apa-apa.

    Abdul Muthalib segera melaksanakan perintah ghaib tersebut. Dalam penggalian itu Abdul Muthalib menemukan simpanan benda berharga milik Bani Jurhum, kabilah yang pertama kali tinggal dan menemani Nabi Ismail dan Hajar di Makkah, istri Nabi Ismail juga berasal dari kabilah itu. Benda-benda berupa beberapa pedang, baju besi dan dua pangkal pelana itu semuanya terbuat dari emas. Abdul Muthalib memasang pedang dan dua pangkal pelana itu pada pintu Ka’bah.

    Setelah melakukan penggalian beberapa hari lamanya, sumur Zam-zam itu akhirnya ditemukan kembali, dan airnya-pun sangat berlimpah. Tampaknya memang Allah menghendaki munculnya sumur Zam-zam itu kembali untuk dinikmati oleh kecintaan-Nya, Nabi Muhammad SAW yang tidak lama lagi akan dilahirkan, termasuk kaum kerabat beliau dan seluruh umat beliau hingga hari kiamat tiba.

    Sumur Zam-zam memang ajaib. Berbeda dengan sumur yang umumnya mempunyai mata air di bagian bawah sendiri, Zam-zam ini mata airnya di tengah. Dengan kedalaman 30 meter dari bibir sumur, mata air itu berada pada jarak 13 meter, dan memenuhi sumur sampai batas 4 meter dari bibir sumur. Ada dua mata air utama, pertama yang keluar dari suatu celah sepanjang 75 cm setinggi 30 cm yang mengarah pada Hajar Aswad, yang kedua celah sepanjang 70 cm setinggi 30 cm yang mengarah pada pengeras suara saat ini. Ada juga beberapa celah kecil yang mengalirkan air juga, yang mengarah pada bukit Shafa dan Marwa. Diameter  sumur juga berbeda-beda, berkisar antara 1,46 m hingga 2.66 m. Debit airnya antara 11 liter hingga 18,5 liter perdetik.

    Ketika sumur Zam-zam itu ditemukan kembali, beberapa kabilah Quraisy lainnya ingin campur tangan dalam pengelolaannya, mereka berkata, “Kami ingin bersekutu!!”

    Dengan tegas Abdul Muthalib berkata, “Tidak bisa, ini adalah urusan yang khusus ada di tanganku!!”

    Tetapi kabilah-kabilah itu agak memaksa, maka Abdul Muthalib berkata, “Baiklah, kita bawa masalah ini kepada dukun wanita dari Bani Sa’d. Aku tidak akan mau berbagi/bersekutu kecuali jika dia telah memutuskannya!!”

    Dukun wanita Bani Sa’d tersebut selama ini menjadi rujukan jika terjadi perselisihan di antara kaum Quraisy. Mereka mendatanginya dan menyerahkan urusan tersebut. Walaupun cukup lama menunggu, mereka dengan sabar tinggal di bani Sa’d tersebut, sampai akhirnya Allah menunjukkan kekuasaan-Nya, dukun wanita itu keluar dengan putusan bahwa hak pengelolaan sumur Zam-zam mutlak berada di tangan Abdul Muthalib.

    Abdul Muthalib sangat gembira dengan putusan tersebut, begitu gembiranya sehingga ia bernadzar, jika ia mempunyai sepuluh orang anak laki-laki, dan tidak akan mempunyai anak lainnya lagi setelah itu, ia akan mengorbankan (menyembelih) salah satunya di hadapan Ka’bah, sebagaimana Ibrahim telah menyembelih (mengorbankan) Ismail. Sesuatu yang berlebih-lebihan memang tidak baik, begitu juga dengan kegembiraan. Hal itulah yang dialami oleh Abdul Muthalib, kegembiraan menemukan kembali sumur Zam-zam, ditambah lagi kegembiraan karena memperoleh hak mutlak mengelola sumur tersebut, membuat akal sehatnya tertutup untuk sementara waktu sehingga muncul nadzar seperti itu.

    Setelah beberapa hari berlalu dan kegembiraannya mulai mereda, ia teringat akan nadzar yang diucapkannya di depan dukun wanita Bani Sa’d itu. Dan ia mulai menyadari bahwa dari 16 orang anaknya, sepuluh orang di antaranya adalah laki-laki, hanya saja ia belum tahu, apakah di antara istri-istrinya masih akan melahirkan lagi? Ia memerintahkah seorang yang ahli untuk memeriksa keadaan istri-istrinya, dan sang ahli menyatakan bahwa mereka tidak akan bisa mempunyai anak lagi.

    Abdul Muthalib mengumpulkan anak laki-lakinya, dan menceritakan nadzar yang telah diucapkannya. Ternyata mereka semua patuh dengan kehendaknya tersebut, siapapun yang harus dikorbankan. Ia menulis ke sepuluh nama anaknya tersebut dan kemudiannya mengundinya. Ternyata nama yang keluar adalah Abdullah, anak yang paling disayanginya dan ayahanda Rasulullah SAW itu dengan ikhlas menerima keputusan tersebut, sebagaimana ikhlasnya Nabi Ismail ketika akan disembelih oleh Nabi Ibrahim.

    Abdul Muthalib menuntun anaknya itu menuju Ka’bah sambil membawa parang. Kaum Quraisy yang menyaksikan pemandangan tersebut sejak awal merasa trenyuh, apalagi Abdullah juga yang paling mereka sayangi di antara anak-anak Abdul Muthalib lainnya. Mereka kemudian mencegah niat Abdul Muthalib dengan keras, terutama Abu Thalib dan paman-pamannya dari pihak ibu yang berasal dari Bani Makhzum. Abdul Muthalib yang pada dasarnya memang tidak tega untuk melaksanakan nadzarnya itu berkata, “Bagaimana dengan nadzarku?”

    Mereka menyarankan untuk meminta pendapat dukun wanita Bani Sa’d untuk memberikan solusinya, sebagaimana biasanya. Wanita itu memerintahkan agar Abdul Muthalib menyembelih sepuluh ekot unta sebagai diyat, tebusan pembunuhan yang berlaku saat itu. Setelah itu ia harus melakukan pengundian kembali nama Abdullah dengan sepuluh unta. Jika nama Abdullah yang keluar, ia harus menambah lagi sepuluh ekor unta lagi sebagai diyat, dan mengundinya lagi. Begitu seterusnya hingga yang keluar nama unta, dan saat itulah kafarat dari nadzarnya yang diridhoi Tuhan.

    Abdul Muthalib melaksanakan saran wanita tersebut, dan ternyata setelah seratus ekor unta, barulah nama Abdullah tidak keluar lagi. Sejak saat itu ketetapan diyat untuk pembunuhan ditetapkan oleh orang-orang Arab sebanyak seratus ekor unta. Dan aturan diyat pembunuhan adalah seratus ekor unta diteruskan oleh Nabi SAW dalam syariat Islam. Karena peristiwa tersebut, Nabi SAW pernah bersabda, “Aku adalah anak dari dua orang yang (akan) disembelih.”

    Maksudnya adalah Nabi Ismail yang akan disembelih oleh Nabi Ibrahim, dan Abdullah yang akan disembelih oleh Abdul Muthalib. [Ibnu Ghufron]

    Thursday, August 27, 2015

    Kisah Pasukan Besar Ingin Menghancurkan Ka’bah



    Sebelum Kelahiran Besar Muhammad SAW kemuka bumi ini. Ada peristiwa yang luar biasa yang di abadikan didalam Al Qur’an. Kejadian ini diperkirakan pada tahun 570 Masehi. Sebuah pasukan besar ingin menghancurkan ka’bah. Mereka terhimpun dari 60.000 ribu prajurit. Para komandan pasukan dilengkapi dengan kendaran gajah untuk lebih jelasnya, ikuti kisah selengkapnya  :

    Peristiwa tersebut berawal dari kecemburuan penguasa Yaman yang beragama Nashrani terhadap “popularitas” Baitullah dan Ka’bah di Makkah. Telah ratusan tahun orang-orang di Jazirah Arabia melakukan ritual (ibadah haji) mengunjungi atau ziarah ke Baitul Athiq (Rumah Tua, yakni Ka’bah) tersebut, termasuk yang berasal dari Yaman. Penguasa atau Gubernur Yaman yang bernama Abrahah ash Shabbah al Habsyi itu berkeinginan agar mereka mengalihkan kebiasaannya tersebut ke Kota Shan’a, ibukota Yaman. Karena itu membangun sebuah gereja yang amat besar dan menghiasinya dengan seindah-indahnya.

    Setelah gereja yang begitu megah, indah dan mengagumkan itu selesai dibangun, Abrahah mengirimkan pengumuman ke seluruh penjuru Arabia. Ia memerintahkan agar para kabilah itu “mengalihkan” ritual ibadah hajinya kepada gerejanya yang diberi nama Qalis tersebut. Para pemimpin kabilah itu amat marah dengan “pemaksaan” yang dilakukan Abrahah. Seseorang dari Bani Kinanah mendatangi Gereja Qalis tersebut, dan pada suatu malam ia memasukinya dan melumurkan kotoran ke pusat (kiblat)nya gereja tersebut. Riwayat lainnya menyebutkan, dua orang pemuka dari Bani Fuqaim dan Bani Malik yang mendatangi dan mengotori gereja Qalis, sedangkan utusan  Abrahah yang dikirim ke Bani Kinanah tewas tertembus panah dari orang tidak dikenal.

    Melihat keinginannya tidak tercapai, ditambah lagi pengotoran Qalis dan pembunuhan pada utusannya, Abrahah memuncak kemarahannya. Tetapi ia menyadari bahwa tidak mungkin menyerang dan menaklukkan semua kabilah yang menyebar seantero Jazirah Arabia itu, yang di antara mereka dipisahkan bermil-mil padang pasir. Dalam pemikirannya, kalau Baitullah dan Ka’bah telah hilang, maka akan mudah menggiring masyarakat Arab untuk mendatangi Qalis di Shan’a, karena itu ia memutuskan untuk menyerang dan menghancurkan Ka’bah di Makkah tersebut.

    Abrahah menghimpun pasukan yang sangat besar untuk merealisasikan maksudnya, yakni hingga enampuluh ribu prajurit. Para komandan pasukan berkendaraan gajah, ada tigabelas ekor (atau sembilan ekor pada riwayat lainnya) gajah di antara tunggangan lainnya, dan  Abrahah menunggangi gajah yang terbesar. Beberapa kabilah sempat melakukan perlawanan untuk membatalkan maksud Abrahah, tetapi dengan mudah mereka dapat dikalahkan. Sepanjang perjalanan ke Makkah mereka juga menjarah harta dan ternak para kabilah yang dilaluinya, termasuk duaratus ekor unta milik Abdul Muthalib.

    Pasukan bergajah tersebut beristirahat di luar kota Makkah, dan Abrahah mengirim utusan untuk menemui sayyid (sesepuh) kota Makkah yang juga kepada suku Quraisy, yang tak lain adalah kakek Nabi Muhammad SAW, Abdul Muthalib. Utusan tersebut berkata kepada Abdul Muthalib, “Raja Abrahah berpesan bahwa dia tidak bermaksud memerangi bangsa Quraisy, tetapi hanya bermaksud meruntuhkan Ka’bah. Jika tuan dan bangsa tuan tidak menghalangi, tidak akan terjadi pertumpahan darah. Dan Raja berharap tuan bersedia menemuinya!!”

    Abdul Muthalib berkata, “Demi Allah, kami tidak mempunyai kekuatan untuk memerangi tentara rajamu. Dan aku memang bermaksud untuk menemuinya!!”

    Maka mereka berdua segera menghadap Abrahah di perkemahannya, dan Abdul Muthalib diperlakukan dengan penuh kehormatan. Abdul Muthalib berkata, “Wahai raja Abrahah, tolong dikembalikan duaratus ekor unta milik saya yang telah engkau ambil dari penggembala saya…!!”

    Abrahah memandangnya penuh keheranan, dan berkata, “Kami datang untuk meruntuhkan Ka’bah, tetapi engkau hanya membicarakan unta-unta milikmu itu? Bagaimana dengan agama dan Ka’bah yang selama ini kalian puja-puja? ”

     “Saya hanya tuannya unta-unta itu. Sedangkan Ka’bah mempunyai Tuannya sendiri yang akan memeliharanya!!” Kata Abdul Muthalib.
    Abrahah menegaskan, “Jadi engkau tidak akan menghalangi kami?”

     “Sama sekali tidak!! Hanya saja berilah kami sedikit waktu untuk mengucapkan salam perpisahan kepada Ka’bah sebelum engkau menghancurkannya!!”

    Abrahah sangat gembira dengan jawaban tersebut, dan memerintahkan pasukannya untuk mengembalikan duaratus unta milik Abdul Muthalib tersebut. Kemudian Abdul Muthalib dan beberapa pemuka Quraisy menghampiri Ka’bah, berdoa kepada Allah untuk memelihara Ka’bah dari pasukan Abrahah. Dan sebelum mereka pergi ke tempat perlindungan di bukit-bukit sekeliling Makkah, sebagaimana penduduk lainnya, masing-masing dari mereka mencium Ka’bah dengan air mata bercucuran penuh kesedihan sebagai salam perpisahan.

    Abrahah menggerakkan pasukannya memasuki kota Makkah yang telah kosong layaknya kota mati. Ia berjalan dengan pongahnya seolah-olah kemenangan telah berada di genggamannya. Ketika tiba di Wadi Mahsar yang berada di antara Mina dan Muzdalifah, gajah-gajah tersebut tiba-tiba menderum (duduk) dan tidak mau bergerak maju, begitu juga dengan tunggangan-tunggangan lainnya. Tetapi jika diarahkan ke tempat lain menjauhi Ka’bah, binatang itu segera bergerak cepat seolah-olah ingin melarikan diri. Jika diarahkan kembali menuju Ka’bah, tiba-tiba mereka menderum dan tidak mau bergerak maju.

    Ketika Nabi SAW dan kaum muslimin ingin melakukan umrah yang kemudian berakhir dengan Perjanjian Hudaibiyah, Unta Nabi SAW yang bernama Al Qashwa tiba-tiba menderum ketika tiba di Tsaniyyatul Murar. Mereka beranggapan mungkin unta itu lelah dan perlu beristirahat sebentar. Tetapi setelah cukup istirahat dan diberdirikan lagi untuk meneruskan perjalanan ke Makkah, Al Qashwa menderum lagi. Maka Nabi SAW bersabda, “Tidaklah al Qashwa itu menderum atas kemauannya sendiri, sesungguhnya ia ditahan oleh (malaikat) yang dahulu menahan pasukan bergajah Abrahah…!!”

    Dalam keadaan seperti itu, dimana Abrahah tidak mampu menggerakkan pasukannya, tiba-tiba Allah mendatangkan ribuan burung Ababil di atas mereka. Burung-burung yang menyerupai burung Khathathif dan Balsan itu, masing-masing membawa tiga batu sebesar kacang kedelai dari tanah yang sangat panas, dua di cengkeraman kaki dan satu di paruhnya. Batu-batu itu dijatuhkan ke tentara Abrahah dan tepat mengenai satu persatu dari mereka. Ada riwayat yang menyebutkan, pada masing-masing batu itu tertulis nama-nama dari tentara Abrahah, sehingga tidak satupun yang lolos.

    Sebagian besar langsung mati di tempat, tetapi ada juga yang bisa melarikan diri dalam keadaan luka dan mengidap penyakit, hanya saja akhirnya mati juga secara mengenaskan, termasuk di antaranya Abrahah sendiri. Ia mati ketika tiba di Shan’a. Begitu Dahsyatnya kejadian tersebut hingga Al-Qur’an menggambarkan keadaan tentara gajah “Laksana Daun-daun Yang Dimakan Ulat” (Ibnu Ghufron)