Wednesday, October 5, 2016

Ibnu Zubair ('Abdullah bin Zubair) Radhiyallahu 'anhu (wafat 94 H)




Seorang pemimpin masa Khalifah Ali bin Abi Talib dan awal khilafah Bani Umayyah. Dia adalah bayi pertama yang lahir dikalangan Muhajirin di Madinah. Ayahnya bernama Zubair Awwam dan ibunya, Asma binti Abu Bakar as-Siddiq. Ia sepupu dan juga kemenakan Nabi Muhammad dari istrinya, Aisyah binti Abu Bakar. Ia termasuk salah seorang dari “Empat ‘Ibadillah” (empat orang yang bernama Abdullah) dari 30 orang lebih sahabat Nabi yang dikenal menghafal seluruh ayat-ayat Al-Qur’an, Tiga orang ‘Ibadillah lainnya adalah Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Umar bin Khatab, dan Abdullah bin Amr bin As.

Ibnu Zubair telah mengenal perang sejak berusia 12 tahun, yaitu ketika bersama ayahnya turut dalam Perang Yarmuk, dan empat tahun kemudian kembali menyertai ayahnya yang menjadi anggota pasukan Amr bin As di Mesir. Ibnu Zubair juga mengambil bagian dalam ekspedisi Abdullah bin Sa’ad bin Abi Sarh melawan orang-orang Byzantium di Afrika. Semua peristiwa tersebut mengundang kekaguman penduduk Madinah kepadanya.

Di masa Khalifah Usman bin Affan, ia duduk sebagai anggota panitia yang bertugas menyusun Al-Qur’an. Di masa Khalifah Ali bin Abi Talib, ia bersama Aisyah mengatur langkah untuk menantang Khalifah tersebut untuk menuntut penyelesaian kasus pembunuhan Khalifah Usman. Gerakan ini didukung oleh beberapa tokoh, seperti Ja’la bin Umayyah dari Yaman, Abdullah bin Amr Basra, Sa’ad bin As, dan Wahid bin Uqbah (pemuka kalangan Umayyah di Hedzjaz) dan beberapa sahabat senior (Talhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam), dan ayahnya. Perselisihan antara kelompoknya dan kelompok Ali yang sedang berkuasa diselesaikan dalam Perang Unta (Waqiah al-Jamal). Dalam perang inilah ia menyaksikan ayahnya gugur. Disebut Perang Unta karena Aisyah mengendarai unta saat memimpin pasukan itu.

Ibnu Zubair kembali melawan Dinasti Bani Umayyah. Meskipun di masa Mu’awiyah bin Abi Sufyan bentuk perlawanannya belum bersifat terbuka, ia tampil menantang khilafah (pemerintahan) Bani Umayyah secara terang-terangan. Ia memprotes Yazid, putra Mu’awiyah, yang naik menjadi khalifah atas penunjukan ayahnya setelah ayahnya wafat.

Yazid memerintahkan walinya di Madinah untuk memaksa Ibnu Zubair bersama Husein bin Ali (cucu Nabi) dan Abdullah bin Umar agar menyatakan kesetiaan kepadanya. Ibnu Zubair dan Husein tetap membangkang. Demi keamanan, keduanya pindah ke Mekah.

Ia tetap sebagai penantang khalifah sekalipun Husein, tak lama sesudah itu, tewas dengan menyedihkan dalam pertempuran tak seimbang di Karbala. Pernyataan secara terbuka, bahwa kekuasaan Yazid tidak sah membawa pengaruh luas dikalangan ansar di Madinah yang akhirnya melahirkan pemberontakan.

Setelah menunggu kesempatan yang baik, Yazid mengerahkan tentara Suriah di bawah pimpinan Muslim bin Uqbah dan memadamkan pemberontakan orang-orang Madinah tersebut dalam Perang Harran. Kematian Muslim bin Uqbah tak menghalangi tentara tersebut untuk bergerak menuju Mekah dengan sasaran mematahkan perlawanan Ibnu Zubair. Tentara tersebut mengepung dan menghujani kota Mekah dengan batu dan panah api yang menyebabkan Ka’bah terbakar. Berita meninggalnya Khalifah Yazid menyebabkan komandan pasukan, Husain bin Numair, mencoba membujuk Ibnu Zubair agar bersedia bergabung dengan mereka untuk kembali ke Suriah. Ibnu Zubair menolak bujukan tersebut dengan mengatakan bahwa ia akan tetap di Mekah. Selanjutnya, ia memproklamasikan dirinya sebagai amirulmukminin. Sekalipun proklamasi itu tidak lebih dari sekedar nama, namun lawan-lawan dinasti Bani Umayyah di Suriah, Mesir, Arab Selatan, dan Kufah sempat menghargainya sebagai khalifah.

Setelah Mu’awiyah putra dan pengganti Yazid meninggal dunia, Ibnu Zubair muncul sebagai kandidat khalifah atas dukungan Bani Qais. Selain itu ada kandidat lainnya yaitu, Marwan bin Haqam (dukungan Bani Qalb) dan dua kabilah Arab berdomisili di Suriah, juga saling bersaing mengajukan calon masing-masing. Akan tetapi, Ibnu Zubair terpojok tatkala peta kekuatan politik mengalami perubahan, akibat pemberontakan di Kufa dan pembelontan di antara pengikutnya, setelah Yazid wafat. Pengepungan membawa kematiannya terjadi ketika Hajjaj bin Yusuf as-Saqafi ditugaskan oleh khalifah Abdul Malik bin Marwan, putra Marwan bin Hakam, untuk menyelesaikan perlawanan “Sang Penantang Enam Khalifah” – dari Ali, Mu’awiyah, Yazid, Mu’awiyah, Marwan bin Hakam, sampai Abdul Malik.

Tidak kurang dari tujuh bulan diperlukan untuk menghujani kota suci Mekah dan Ka’bah dengan bombardir pasukan al-Hajjaj untuk melumpuhkan perlawanan Ibnu Zubair. Ia masih bertahan tatkala putra-putranya menyerahkan diri kepada al-Hajjaj. Keperkasaannya bangkit kembali setelah berjumpa sebentar dengan ibunya yang sudah buta, yang mendorongnya dengan memberikan semangat juang. Padahal sebelumnya, ia sempat menyatakan kepada ibunya rasa khawatir, bahwa mayatnya akan diperlakukan secara sadis oleh para pembunuhnya kelak. Ibunya mengatakan bahwa kambing yang sudah disembelih tak sedikit pun akan merasakan sayatan-sayatan pada dagingnya. Jawaban ini mendorongnya keluar dari rumah tempat ia bertahan , maju ke tengah-tengah lawannya yang kemudian menyergap dan menghabisinya. Mayatnya ditempatkan pada tiang gantung yang sama di mana saudaranya, Amr, pernah mengalami hal serupa. Atas perintah Abdul Malik, mayatnya kemudian diserahkan kepada ibunya. Tak lama berselang, setelah menguburkan mayat putranya itu, ia pun wafat pada tahun 94 H.

InshoMedia

Saturday, October 1, 2016

Riwayat Ibnu Abbas Radhiallahu anhu



'Abdullah bin 'Abbas Radhiyallahu 'anhu (wafat 68 H)


Abdullah bin Abbas adalah sahabat kelima yang banyak meriwayatkan hadist sesudah Sayyidah Aisyah, ia meriwayatkan 1.660 hadits.

Dia adalah putera Abbas bin Abdul Mutthalib bin Hasyim, paman Rasulullah dan ibunya adalah Ummul Fadl Lababah binti harits saudari ummul mukminin Maimunah.

Sahabat yang mempunyai kedudukan yang sangat terpandang ini dijuluki dengan Informan Umat Islam. Beliaulah asal silsilah khalifah Daulat Abbasiah. Dia dilahirkan di Mekah dan besar di saat munculnya Islam, di mana beliau terus mendampingi Rasulullah sehingga beliau mempunyai banyak riwayat hadis sahih dari Rasulullah . Beliau ikut di barisan Ali bin Abi Thalib dalam perang Jamal dan perang Shiffin. Beliau ini adalah pakar fikih, genetis Arab, peperangan dan sejarah. Di akhir hidupnya dia mengalami kebutaan, sehingga dia tinggal di Taif sampai akhir hayatnya.

Abdullah lahir tiga tahun sebelum hijrah dan Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam mendoakannya “Ya Allah berilah ia pengertian dalam bidang agama dan berilah ia pengetahuan takwil (tafsir)”.Allah mengabulkan doa Nabi-nya dan Ibnu Abbas belakangan terkenal dengan penguasaan ilmunya yang luas dan pengetahuan fikihnya yang mendalam , menjadikannya orang yang dicari untuk di mintai fatwa penting sesudah Abdullah bin Mas’ud, selama kurang lebih tiga puluh tahun.

Tentang Ibnu Abbas, Ubaidullah bin Abdullah bin Utbah berkata :”Tak pernah aku melihat seseorang yang lebih mengerti dari pada Ibnu Abbas tentang ilmu hadits Nabi Shallallahu alaihi Wassalam serta keputusan2 yang dibuat Abubakar ,Umar , dan Utsman“.

Begitu pula tentang ilmu fikih ,tafsir ,bahasa arab , sya’ir , ilmu hitung dan fara’id. Orang suatu hari menyaksikan ia duduk membicarakan ilmu fiqih, satu hari untuk tafsir, satu hari lain untuk masalah peperangan, satu hari untuk syair dan memperbincangkan bahasa Arab. Sama sekali aku tidak pernah melihat ada orang alim duduk mendengarkan pembicaraan beliau begitu khusu’ nya kecuali kepada beliau. Dan setiap pertanyaan orang kepada beliau, pasti ada jawabannya”.

Menurut An-Nasa’I, sanad hadits Ibnu Abbas paling Shahih adalah yang diriwayatkan oleh az-Zuhri, dari Ubaidullah bin Abdullah bin ‘Utba, dari Ibnu abbas. Sedangkan yang paling Dlaif adalah yang diriwayatkan oleh Muhammad bin Marwan as-Suddi Ash-Shaghir dan Al-Kalabi, dari Abi Shalih. Rangkaian ini disebut silsilah Al-Kadzib (silsilah bohong).

Ibnu Abbas mengikuti Perang Hunain, Thaif, Penaklukan Makkah dan haji wada’. Ia menyaksikan penaklukan Afrika bersama Ibnu Abu as-Sarah. Perang Jamal dan Perang Shiffin bersama Ali bin Abi Thalib. Ia wafat di Thaif pada tahun 68 H. Ibnu al-Hanafiyah ikut menshalatkanya.

Disalin dari : Biografi Ibnu Abbas dalam Al-Ishabah no.4772

Saturday, September 3, 2016

Hadits Shahih Bukhari Ke 3

Hadits Shahih Bukhari Ke 3

Hadits Shahih Bukhari Ke 3

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ بُكَيْرٍ قَالَ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ عُقَيْلٍ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ عَنْ عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ أَنَّهَا قَالَتْ أَوَّلُ مَا بُدِئَ بِهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ الْوَحْيِ الرُّؤْيَا الصَّالِحَةُ فِي النَّوْمِ فَكَانَ لَا يَرَى رُؤْيَا إِلَّا جَاءَتْ مِثْلَ فَلَقِ الصُّبْحِ ثُمَّ حُبِّبَ إِلَيْهِ الْخَلَاءُ وَكَانَ يَخْلُو بِغَارِ حِرَاءٍ فَيَتَحَنَّثُ فِيهِ وَهُوَ التَّعَبُّدُ اللَّيَالِيَ ذَوَاتِ الْعَدَدِ قَبْلَ أَنْ يَنْزِعَ إِلَى أَهْلِهِ وَيَتَزَوَّدُ لِذَلِكَ ثُمَّ يَرْجِعُ إِلَى خَدِيجَةَ فَيَتَزَوَّدُ لِمِثْلِهَا حَتَّى جَاءَهُ الْحَقُّ وَهُوَ فِي غَارِ حِرَاءٍ فَجَاءَهُ الْمَلَكُ فَقَالَ اقْرَأْ قَالَ مَا أَنَا بِقَارِئٍ قَالَ فَأَخَذَنِي فَغَطَّنِي حَتَّى بَلَغَ مِنِّي الْجَهْدَ ثُمَّ أَرْسَلَنِي فَقَالَ اقْرَأْ قُلْتُ مَا أَنَا بِقَارِئٍ فَأَخَذَنِي فَغَطَّنِي الثَّانِيَةَ حَتَّى بَلَغَ مِنِّي الْجَهْدَ ثُمَّ أَرْسَلَنِي فَقَالَ اقْرَأْ فَقُلْتُ مَا أَنَا بِقَارِئٍ فَأَخَذَنِي فَغَطَّنِي الثَّالِثَةَ ثُمَّ أَرْسَلَنِي فَقَالَ { اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ } فَرَجَعَ بِهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَرْجُفُ فُؤَادُهُ فَدَخَلَ عَلَى خَدِيجَةَ بِنْتِ خُوَيْلِدٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا فَقَالَ زَمِّلُونِي زَمِّلُونِي فَزَمَّلُوهُ حَتَّى ذَهَبَ عَنْهُ الرَّوْعُ فَقَالَ لِخَدِيجَةَ وَأَخْبَرَهَا الْخَبَرَ لَقَدْ خَشِيتُ عَلَى نَفْسِي فَقَالَتْ خَدِيجَةُ كَلَّا وَاللَّهِ مَا يُخْزِيكَ اللَّهُ أَبَدًا إِنَّكَ لَتَصِلُ الرَّحِمَ وَتَحْمِلُ الْكَلَّ وَتَكْسِبُ الْمَعْدُومَ وَتَقْرِي الضَّيْفَ وَتُعِينُ عَلَى نَوَائِبِ الْحَقِّ فَانْطَلَقَتْ بِهِ خَدِيجَةُ حَتَّى أَتَتْ بِهِ وَرَقَةَ بْنَ نَوْفَلِ بْنِ أَسَدِ بْنِ عَبْدِ الْعُزَّى ابْنَ عَمِّ خَدِيجَةَ وَكَانَ امْرَأً قَدْ تَنَصَّرَ فِي الْجَاهِلِيَّةِ وَكَانَ يَكْتُبُ الْكِتَابَ الْعِبْرَانِيَّ فَيَكْتُبُ مِنْ الْإِنْجِيلِ بِالْعِبْرَانِيَّةِ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَكْتُبَ وَكَانَ شَيْخًا كَبِيرًا قَدْ عَمِيَ فَقَالَتْ لَهُ خَدِيجَةُ يَا ابْنَ عَمِّ اسْمَعْ مِنْ ابْنِ أَخِيكَ فَقَالَ لَهُ وَرَقَةُ يَا ابْنَ أَخِي مَاذَا تَرَى فَأَخْبَرَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَبَرَ مَا رَأَى فَقَالَ لَهُ وَرَقَةُ هَذَا النَّامُوسُ الَّذِي نَزَّلَ اللَّهُ عَلَى مُوسَى يَا لَيْتَنِي فِيهَا جَذَعًا لَيْتَنِي أَكُونُ حَيًّا إِذْ يُخْرِجُكَ قَوْمُكَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوَمُخْرِجِيَّ هُمْ قَالَ نَعَمْ لَمْ يَأْتِ رَجُلٌ قَطُّ بِمِثْلِ مَا جِئْتَ بِهِ إِلَّا عُودِيَ وَإِنْ يُدْرِكْنِي يَوْمُكَ أَنْصُرْكَ نَصْرًا مُؤَزَّرًا ثُمَّ لَمْ يَنْشَبْ وَرَقَةُ أَنْ تُوُفِّيَ وَفَتَرَ الْوَحْيُ قَالَ ابْنُ شِهَابٍ وَأَخْبَرَنِي أَبُو سَلَمَةَ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّ جَابِرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ الْأَنْصَارِيَّ قَالَ وَهُوَ يُحَدِّثُ عَنْ فَتْرَةِ الْوَحْيِ فَقَالَ فِي حَدِيثِهِ بَيْنَا أَنَا أَمْشِي إِذْ سَمِعْتُ صَوْتًا مِنْ السَّمَاءِ فَرَفَعْتُ بَصَرِي فَإِذَا الْمَلَكُ الَّذِي جَاءَنِي بِحِرَاءٍ جَالِسٌ عَلَى كُرْسِيٍّ بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ فَرُعِبْتُ مِنْهُ فَرَجَعْتُ فَقُلْتُ زَمِّلُونِي زَمِّلُونِي فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى { يَا أَيُّهَا الْمُدَّثِّرُ قُمْ فَأَنْذِرْ إِلَى قَوْلِهِ وَالرُّجْزَ فَاهْجُرْ } فَحَمِيَ الْوَحْيُ وَتَتَابَعَ تَابَعَهُ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ وَأَبُو صَالِحٍ وَتَابَعَهُ هِلَالُ بْنُ رَدَّادٍ عَنْ الزُّهْرِيِّ وَقَالَ يُونُسُ وَمَعْمَرٌ بَوَادِرُهُ

"Permulaaan wahyu yang datang kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam adalah dengan mimpi yang benar dalam tidur. Dan tidaklah Beliau bermimpi kecuali datang seperti cahaya subuh. Kemudian Beliau dianugerahi kecintaan untuk menyendiri, lalu Beliau memilih gua Hiro dan bertahannuts yaitu 'ibadah di malam hari dalam beberapa waktu lamanya sebelum kemudian kembali kepada keluarganya guna mempersiapkan bekal untuk bertahannuts kembali. Kemudian Beliau menemui Khadijah mempersiapkan bekal. Sampai akhirnya datang Al Haq saat Beliau di gua Hiro, Malaikat datang seraya berkata: "Bacalah?" Beliau menjawab: "Aku tidak bisa baca". Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menjelaskan: Maka Malaikat itu memegangku dan memelukku sangat kuat kemudian melepaskanku dan berkata lagi: "Bacalah!" Beliau menjawab: "Aku tidak bisa baca". Maka Malaikat itu memegangku dan memelukku sangat kuat kemudian melepaskanku dan berkata lagi: "Bacalah!. Beliau menjawab: "Aku tidak bisa baca". Malaikat itu memegangku kembali dan memelukku untuk ketiga kalinya dengan sangat kuat lalu melepaskanku, dan berkata lagi: (Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia Telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah)". Nabi shallallahu 'alaihi wasallam kembali kepada keluarganya dengan membawa kalimat wahyu tadi dalam keadaan gelisah. Beliau menemui Khadijah binti Khawailidh seraya berkata: "Selimuti aku, selimuti aku!". Beliau pun diselimuti hingga hilang ketakutannya. Lalu Beliau menceritakan peristiwa yang terjadi kepada Khadijah: "Aku mengkhawatirkan diriku". Maka Khadijah berkata: "Demi Allah, Allah tidak akan mencelakakanmu selamanya, karena engkau adalah orang yang menyambung silaturrahim". Khadijah kemudian mengajak Beliau untuk bertemu dengan Waroqoh bin Naufal bin Asad bin Abdul 'Uzza, putra paman Khadijah, yang beragama Nasrani di masa Jahiliyyah, dia juga menulis buku dalam bahasa Ibrani, juga menulis Kitab Injil dalam Bahasa Ibrani dengan izin Allah. Saat itu Waroqoh sudah tua dan matanya buta. Khadijah berkata: "Wahai putra pamanku, dengarkanlah apa yang akan disampaikan oleh putra saudaramu ini". Waroqoh berkata: "Wahai putra saudaraku, apa yang sudah kamu alami". Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menuturkan peristiwa yang dialaminya. Waroqoh berkata: "Ini adalah Namus, seperti yang pernah Allah turunkan kepada Musa. Duhai seandainya aku masih muda dan aku masih hidup saat kamu nanti diusir oleh kaummu". Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bertanya: "Apakah aku akan diusir mereka?" Waroqoh menjawab: "Iya. Karena tidak ada satu orang pun yang datang dengan membawa seperti apa yang kamu bawa ini kecuali akan disakiti (dimusuhi). Seandainya aku ada saat kejadian itu, pasti aku akan menolongmu dengan sekemampuanku". Waroqoh tidak mengalami peristiwa yang diyakininya tersebut karena lebih dahulu meninggal dunia pada masa fatroh (kekosongan) wahyu. Ibnu Syihab berkata; telah mengabarkan kepadaku Abu Salamah bin Abdurrahman bahwa Jabir bin Abdullah Al Anshari bertutur tentang kekosongan wahyu, sebagaimana yang Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam ceritakan: "Ketika sedang berjalan aku mendengar suara dari langit, aku memandang ke arahnya dan ternyata Malaikat yang pernah datang kepadaku di gua Hiro, duduk di atas kursi antara langit dan bumi. Aku pun ketakutan dan pulang, dan berkata: "Selimuti aku. Selimuti aku". Maka Allah Ta'ala menurunkan wahyu: (Wahai orang yang berselimut) sampai firman Allah (dan berhala-berhala tinggalkanlah). Sejak saat itu wahyu terus turun berkesinambungan". Hadits ini juga diriwayatkan oleh Abdullah bin Yusuf dan Abu Shalih juga oleh Hilal bin Raddad dari Az Zuhri. Dan Yunus berkata; dan Ma'mar menyepakati bahwa dia mendapatkannya dari Az Zuhri. (HR.Bukhari : 3)

Hadits Shahih Bukhari Ke 2

Hadits Shahih Bukhari Ke 2

Hadits Shahih Bukhari Ke 2


حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ الْحَارِثَ بْنَ هِشَامٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ كَيْفَ يَأْتِيكَ الْوَحْيُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحْيَانًا يَأْتِينِي مِثْلَ صَلْصَلَةِ الْجَرَسِ وَهُوَ أَشَدُّهُ عَلَيَّ فَيُفْصَمُ عَنِّي وَقَدْ وَعَيْتُ عَنْهُ مَا قَالَ وَأَحْيَانًا يَتَمَثَّلُ لِي الْمَلَكُ رَجُلًا فَيُكَلِّمُنِي فَأَعِي مَا يَقُولُ قَالَتْ عَائِشَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا وَلَقَدْ رَأَيْتُهُ يَنْزِلُ عَلَيْهِ الْوَحْيُ فِي الْيَوْمِ الشَّدِيدِ الْبَرْدِ فَيَفْصِمُ عَنْهُ وَإِنَّ جَبِينَهُ لَيَتَفَصَّدُ عَرَقًا

"Wahai Rasulullah, bagaimana caranya wahyu turun kepada engkau?" Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjawab: "Terkadang datang kepadaku seperti suara gemerincing lonceng dan cara ini yang paling berat buatku, lalu terhenti sehingga aku dapat mengerti apa yang disampaikan. Dan terkadang datang Malaikat menyerupai seorang laki-laki lalu berbicara kepadaku maka aku ikuti apa yang diucapkannya". Aisyah berkata: "Sungguh aku pernah melihat turunnya wahyu kepada Beliau shallallahu 'alaihi wasallam pada suatu hari yang sangat dingin lalu terhenti, dan aku lihat dahi Beliau mengucurkan keringat." (HR.Bukhari : 2)

Hadits Shahih Bukhari Ke 1

Hadits Shahih Bukhari ke 1

Hadits Shahih Bukhari Ke 1

حَدَّثَنَا الْحُمَيْدِيُّ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الزُّبَيْرِ قَالَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ الْأَنْصَارِيُّ قَالَ أَخْبَرَنِي مُحَمَّدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ التَّيْمِيُّ أَنَّهُ سَمِعَ عَلْقَمَةَ بْنَ وَقَّاصٍ اللَّيْثِيَّ يَقُولُ سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَلَى الْمِنْبَرِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ

"Semua perbuatan tergantung niatnya, dan (balasan) bagi tiap-tiap orang (tergantung) apa yang diniatkan; Barangsiapa niat hijrahnya karena dunia yang ingin digapainya atau karena seorang perempuan yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya adalah kepada apa dia diniatkan". (HR.Bukhari : 1)

Pendirian Atau Pandangan Islam Terhadap Pemeluk Agama Lain (Kitab Al-Khilafah Bagian 11)

Pendirian Atau Pandangan Islam Terhadap Pemeluk Agama Lain (Kitab Al-Khilafah Bagian 11)

Pendirian Atau Pandangan Islam Terhadap Pemeluk Agama Lain (Kitab Al-Khilafah Bagian 11)

Anggapan Negara Islam terhadap pemeluk agama lain, terbagi 4 golongan:

1. Dinamakan "Ahli Zimmah".
Artinya kaum yang mendapat jaminan Tuhan dalam hak dan hukum negara. Terhadap golongan ini berlaku hukum dan hak yang sama dengan kaum Muslimin. Hak-haknya tidak boleh dilanggar atau dikurangi baik mengenai politik, ekonomi, sosial, ketentaraan (mereka berhak memanggul senjata), pengajaran, pendidikan dan lain-lain hak yang bersangkutan dengan kenegaraan. Mereka mempunyai hak penuh sebagai yang dimiliki kaum Muslimin. Adapun mengenai ibadah diserahkan kepada mereka sendiri, mereka berhak beramal dan belajar menurut agama dan keyakinan mereka sendiri, sekali-kali tidak boleh diganggu atau dikurangi.

2. Dinamakan "Musta'man".
Yaitu pemeluk agama lain yang minta perlindungan keselamatan dan keamanan terhadap diri dan hartanya. Kepada golongan ini tidak dilakukan hak dan hukum negara; diri dan harta mereka wajib dilindungi dari segala yang akan membahayakan selama mereka berada dalam perlindungan kita.

3. Dinamakan "Mu'ahadah".
Yaitu perjanjian damai dan persahabatan antara negara Islam dengan negara lain yang bukan negara Islam, baik disertai pula dengan perjanjian akan tolong-menolong, bela-membela atau tidak.
Yang ketiga ini rasanya mudah difahami. Terhadap tiga golongan tersebut (No.1 s/d No.3) tidak boleh dimusuhi bahkan harus diperlakukan sebagai sahabat karib.

4. Dinamakan "Harbi" atau Musuh.
Yaitu pemeluk agama lain yang mengganggu keamanan dan ketentaraman, bersifat zalim atau melakukan penganiayaan, suka menghasut, membuat fitnah, mengacau dan memaksa orang meninggalkan agamanya atau tidak mengamalkannya. Terhadap golongan ini Islam menganggap musuh, kita diizinkan melawan, mengangkat senjata, mengumumkan perang kepada mereka selama perbuatan mereka yang keji itu masih mereka lakukan, sehingga tercapai keamanan dan kesentosaan bagi setiap pemeluk agama Allah dan sampai dapat tegak berdiri tidak diganggu dan difitnah lagi oleh pengacau dan perusak itu.

Berbilang/Jumlah Pimpinan (Kitab Al-Khilafah Bagian 10)

Berbilang Pimpinan (Kitab Al-Khilafah Bagian 10)

Berbilang/Jumlah Pimpinan (Kitab Al-Khilafah Bagian 10)

Menurut asal hukum Syara' Islam, diwajibkan adanya pimpinan/pemimpin pemerintahan yang satu di seluruh negeri Islam sebagaimana yang ada di masa Khalifah-Khalifah di zaman keemasannya.

Kata Mawardi dalam kitab Al-Ahkamus Sulthaniyah:
"Apabila terjadi dua imam di dua negeri Islam pemimpin keduanya tidak sah karena tidak boleh pada umat Islam ada dua Khalifah".

Berkata Syekh Muhammad Rasyid Ridha: Adapun sesudah agama Islam tersiar meluas di seluruh dunia, Timur dan Barat, Selatan dan Utara serta didorong pula oleh beberapa kepentingan dan dipaksa oleh keadaan-keadaan, kesulitan-kesulitan politik, mau tidak mau pimpinan Islamiyah (Khalifah) pada abad ke-8 Masehi (kedua hijriah) terjadi dua daulah Islamiah:

1.Daulah 'Abbasiyah di Timur (Baghdad).
2.Daulah Umaiyah di Barat (Andalus yaitu Spanyol sekarang).

Kedua daulah tersebut menjalankan kewajiban pemerintahan masing-masing, sendiri-sendiri menyusun "Majelis Syura" sendiri-sendiri untuk menyelidiki dan menyesuaikan soal-soal yang bersangkutan dengan pemerintahan masing-masing baik yang bersangkutan dengan ibadah maupun yang bersangkutan dengan masyarakat, baik mengenai urusan dalam negeri maupun luar negeri, seperti kesehatan rakyat, makanan rakyat, lalu lintas, peperangan, perdamaian, politik luar negeri dan dalam negeri, dan sebagainya, masing-masing berjalan sendiri-sendiri. Keputusan Syura (permusyawaratan) rakyat masing-masing ditanfizkan oleh pucuk pimpinan pemerintahan masing-masing pula.

Dan daulah ini walaupun gerak-gerik keduanya sama berdasarkan Undang-Undang Ilahi (Al-Quran, Hadits, Ijma dan Ijtihad yang membuahkan qias) tetapi berdiri sendiri-sendiri. Hukum dan pekerjaan keduanya sah, diakui dan ditaati oleh kaum Muslimin. Di abad-abad yang terakhir dari itu banyak lagi beberapa daulah Islamiyah yang bekerja sendiri-sendiri menjalankan pemerintahan yang berdasarkan pimpinan Ilahi, di masa sekarangpun masih ada dan Insya Allah akan terus ada.

Apakah sebabnya hukum-hukum dan pekerjaan masing-masing daulah Islamiyah tadi dianggap sah dan ditaati oleh kaum Muslimin? Menurut faham yang dekat dapat diambil dari makna "Ulil Amri" yang tersebut dalam Surah An Nisa' ayat 59. Dalam kitab "Ahkamul Quran" karangan Qadhi Abu Bakar yang dikenal dengan gelaran Ibnu Al-Arabi Al-Andalusi, sesudah beliau menerangkan beberapa pendapat ahli tafsir tentang arti "Ulil Amri",

Beliau berkata:
"Yang lebih sesuai bahwa yang dimaksud dengan "Ulil Amri" yang tersebut dalam ayat ialah "Wali-Wali Negeri dan Ulama" maka perintah dan fatwa mereka wajib ditaati dan dijalankan oleh umat selama tidak bertentangan dengan nas Al-Qur'an dan Hadits".

Demikianlah beberapa pendapat dan di samping pendapat-pendapat tersebut, mereka sepakat pula dalam dua baris besar yang perlu menjadi perhatian kita bersama:

1. Fardhu Kifayah atas Umat Muslimin sedunia berusaha mencari jalan untuk menyatukan pimpinan. Kewajiban ini tetap sehingga tercapai yang dituju.

2. Antara negara-negara Islam tadi tidak boleh bermusuhan, tetapi wajib bantu membantu satu sama lain terutama untuk menghadapi orang-orang atau bangsa-bangsa yang melakukan permusuhan terhadap agama Islam.

Hilangnya Hak Pemimpin / Pimpinan (Kitab Al-Khilafah Bagian 9)

Hilangnya Hak Pemimpin / Pimpinan (Kitab Al-Khilafah Bagian 9)

Hilangnya Hak Pemimpin / Pimpinan (Kitab Al-Khilafah Bagian 9)

Khalifah itu wajib menjalankan hukum Allah dan RasulNya, baik terhadap amal dirinya sendiri maupun terhadap jalannya pemerintahan, segala hukum negara tidak boleh bertentangan dengan hukum Allah dan RasulNya, apabila hukum Allah ditanfizkannya untuk dirinya, masyarakat dan negara, rakyat wajib mentaatinya dan apabila ia tidak menjalankan hukum Allah dan RasulNya, hilanglah haknya sebagai Khalifah, begitu juga jika kekuatannya sudah berkurang sehingga tidak dapat lagi menjalankan kewajibannya dengan sempurna terhadap masyarakat dan negara karena ia jatuh di tangan musuh. Keadaan yang demikian membolehkan rakyat menghukum atau memutuskan atas keberhentiannya serta rakyat berhak memilih gantinya agar roda pemerintahan dapat berjalan terus. Meskipun dalam keadaan yang terakhir ini rakyat bertanggung jawab kepada Tuhan mencari jalan untuk melepaskan dari tangan musuh.

Majelis Syura (Kitab Al-Khilafah Bagian 8)

Majelis Syura (Kitab Al-Khilafah Bagian 8)

Majelis Syura (Kitab Al-Khilafah Bagian 8)

Permusyawaratan dalam segala urusan yang tidak ada "Nas  Qath'i" dan tidak ada pula "ijma".

Kata Syekh Muhammad Rasyid Ridha:
"Permusyawaratan inilah sepenting-pentingnya kewajiban Khalifah".

Sebenarnya permusyawaratan hendaklah dilakukan dalam segala urusan, baik yang ada nas, permusyawaratan tentang cara dan jalan mentanfizkannya, apalagi yang tidak ada nas, permusyawaratan dilakukan secara ijtihadiyah yang berdasarkan atas kemaslahatan. Tentang keterangan syura ini telah kami tuliskan Firman Allah surah Syura ayat 38 dan

Firman Allah SWT:
"Dan bermusyawaratlah engkau (ya Muhammad) dengan mereka dalam segala urusan, maka apabila engkau telah mempunyai pendapat yang tetap, jalankanlah serta tawakal kepada Allah. Sesungguhnya Allah suka kepada orang tawakal. QS.Ali Imran:159".

Dan juga amal (praktek) yang dikerjakan oleh Rasulullah SAW semasa beliau masih hidup memegang pucuk pimpinan pemerintahan, beliau sering sekali bermusyawarat dengan sahabat-sahabat beliau dalam urusan kenegaraan atau kemasyarakatan yang perlu menjadi perhatian bersama.

Sungguhpun di masa hidup Rasulullah SAW belum diatur Majelis-Majelis Perwakilan seperti yang ada di negara-negara sekarang ini dan mempunyai anggota yang tertentu dan terbatas, bersidang pada tiap-tiap waktu yang ditentukan dan seterusnya mempunyai peraturan-peraturan yang lengkap. Malah peraturan-peraturan itu tiap-tiap negara tidak sama akan tetapi amal (prakteknya telah beliau kerjakan untuk menjadi qaidah syar'iyah untuk umat kemudian). Bukanlah agama Islam untuk segala bangsa, perlu disesuaikan dengan tiap-tiap tempat dan diselaraskan dengan segala waktu, sedangkan keadaan masyarakat dan pergaulan di suatu tempat atau di suatu waktu, sering berbeda dari tempat-tempat atau masa-masa yang lain. Maka kalau beliau adakan peraturan yang sesuai dengan masa dan tempat beliau di waktu itu, beliau tidak terlepas dari kekhawatiran, kalau-kalau disangka oleh umat beliau di kemudian hari bahwa peraturan itu mesti begitu, tidak boleh diubah lagi, walaupun tidak sesuai dengan keadaan tempat di masa itu, membuta tuli mengikuti susunan dan peraturan yang ada saja, tidak memperhatikan maksud tujuan dan gunanya permusyawaratan itu diadakan. Karena itu beliau mengambil jalan menyerahkan cara dan bentuk permusyawaratan itu kepada kebijaksanaan umat yang sesuai dengan masyarakat ditempat dan waktu mereka, selaras dengan keadaan dan kemaslahatan mereka di waktu itu.

Kewajiban Rakyat (Kitab Al-Khilafah Bagian 7)

Kewajiban Rakyat (Kitab Al-Khilafah Bagian 7)

Kewajiban Rakyat (Kitab Al-Khilafah Bagian 7)

Sesudah selesai pemilihan (mubaya'ah) Khalifah yang sah wajib atas yang memilih serta seluruh rakyat dengan tidak ada kecuali, mentaatinya tunduk serta menjalankan segala peraturan yang dijalankannya selama peraturan-peraturan dan perintahnya itu tidak bertentangan dengan hukum Allah dan RasulNya, begitu juga wajib atas rakyat mentaatinya wali-wali negeri yang ditunjuk oleh Khalifah.

Kewajiban Khalifah terhadap agama dan rakyat.

Garis besar kewajiban Khalifah sebagai berikut:

1. Membela dan menghidupkan agama, menjalankan nas-nas yang disepakati (mujma' alaihi) serta memberi keleluasaan, kebebasan kepada rakyat dalam masalah ijtihadiyah yang bersangkutan dengan amal masing-masing. Baik dalam ilmu pengetahuan maupun yang bersangkutan dengan pekerjaan, baik berupa ibadah atau berupa urusan kehidupan.
Adapun yang bersangkutan dengan pemerintahan, seperti politik negara, keamanan, hukum pengadilan, maka Khalifah berhak menguatkan pendapatnya didalam masalah ijtihadiyah sesudah bermusyawarah dengan Ahlul Halli wal 'Aqdi.

2. Mentanfizkan hukum antara orang-orang yang berselisih atau mendamaikannya, begitu juga hukum yang bersangkutan dengan Allah semata-mata seperti Hudud. Ringkasnya pengatur pengadilan.

3. Menjaga keamanan umum agar kehidupan segenap umat manusia terjamin dengan aman tenteram (urusan kepolisian).

4. Bermusyawarah dengan wakil-wakil rakyat dalam tiap-tiap urusan yang tidak ada nas-nya yang qath'i (yang diyakini) dan tidak pula ada ijma, terutama hal-hal yang mengenai kenegaraan, seperti peperangan, mengenai politik luar dan dalam negeri.

5. Mengatur penjagaan batas-batas negeri dengan sekuat-kuatnya, sehingga merupakan kekuatan yang dapat menolak segala kemungkinan dari serangan musuh yang akan mengganggu keamanan atau ketenteraman dalam negeri.

6.Jihad, melakukan peperangan terhadap musuh apabila telah sampai kepada batas-batas yang diizinkan oleh agama, sebagaimana yang telah kami jelaskan dalam Kitab"Jihad". Yang dimaksud dengan kewajiban No.5 dan No.6 ini, ialah mengatur ketentaraan.

7. Mengatur kemakmuran menurut apa yang diizinkan oleh agama, seperti menyusun "Baitulmal", mengatur perniagaan dan perdagangan, pertanian dan sebagainya. Yang dimaksud disini, "Kementerian Kemakmuran dan Keuangan".

8. Menyesuaikan penyerahan pekerjaan dan kekuasaan menurut kecakapan dan keikhlasan seseorang yang diserahi serta diberi keleluasaan mengatur dan bertindak asal tidak bertentangan dengan dasar-dasar agama.

9. Hendaklah ia bekerja sendiri untuk mengamati dan memperhatikan soal-soal yang diserahkannya kepada wali-walinya. Ia hendaklah bergaul dengan seluruh lapisan masyarakat, tidak boleh mengasingkan diri, bersenang-senang sendiri.

Sighah Mubaya'ah / Lafaz Pengangkatan Khalifah (Kitab Al-Khilafah Bagian 6)

Sighah Mubaya'ah / Lafaz Pengangkatan Khalifah (Kitab Al-Khilafah Bagian 6)

Sighah Mubaya'ah / Lafaz Pengangkatan Khalifah (Kitab Al-Khilafah Bagian 6)

Sebagaimana telah kami posting beberapa lalu, bahwa yang berhak memilih Khalifah ialah "Ahlul Halli Wal 'Aqdi" dari segala golongan umat. Setelah bulat permusyawaratan mereka, hendaklah mereka angkat dengan dasar Al-Qurán dan Hadits serta menjalankan keadilan yang luas dan mereka akan taat kepadanya selama ia menjalankan hukum Allah dan RasulNya. Umpama masing-masing dari mereka berkata:

"Saya bi'át (angkat) engkau menjadi Khalifah untuk menjalankan agama Allah dan RasulNya, dan saya mengaku akan taat kepada perintahmu selama engkau menjalankan perintah Allah dan RasulNya". 

Apabila Khalifah tidak menjalankan perintah Allah dan RasulNya, Ahlul Halli wal 'Aqdi wajib mempertimbangkannya serta memberi keputusan. Keputusan permusyawaratan ini hendaklah berdasarkan apa yang lebih maslahat.

Sunday, August 14, 2016

Meraih ATS-TSABAT Bersama Surat Ali "Imran



📝 Pemateri: Ust. DR. Wido Supraha


🌿🌺🍂🍀🌼🍄🌷🍁

Ats-Tsabat secara mudahnya bermakna keteguhan, konsistensi, mengandung unsur sabar, dan ketenangan, ada unsur merasakan kenikmatan, sehingga ingin terus menerus berada di dalamnya hingga menyelesaikannya atau diselesaikan.

Dalam terma ats-Tsabat ada makna kesungguhan di dalamnya.

Bersungguh-sungguh di dalam meraih tujuan utamanya, meskipun selama usahanya membutuhkan waktu yang amat lama, tahapan demi tahapan yang banyak, dan ujian maupun cobaan yang begitu beragam.

Antum bisa simak Quran Surah al-Ahzab ayat ke-23 dalam hal ini. Bahwa di antara manusia ada yang menepati janji mereka kepada Rabb mereka.

Dalam menepati janji tersebut bahkan ada di antara mereka yang gugur syahid, namun ada pula sebagian lagi yang menunggu-nunggu kapan waktu mereka untuk gugur syahid, namun selama masa penantian tersebut ia tidak pernah sekalipun mengubah janjinya untuk sentiasa dikenal sebagai perindu syahid.

Mungkin bagi sebagian manusia, kalau berbicara waktu akan segera teringat bahwa 'waktu adalah uang', tapi bagi para perindu syahid, waktu sejatinya adalah bagian dari solusi (al-waktu juz-un min al-'ilaaj), bagian dari upayanya untuk terus meningkatkan maqamnya di hadapan Rabbul 'Izzati wal Jalalah.

Hal ini karena ia telah berada pada tingkat keyakinan yang penuh, tanpa keraguan sedikitpun, bahwa memang tiada pilihan lain bagi dirinya kecuali berada pada sebuah jalan, yang jalan itu diyakininya penuh dengan keberkahan dan keridhaan-Nya. Jalan yang menyediakan balasan terbaik yang amat besar dan sangat menarik hatinya, sehingga ia pun tetap fokus berada di dalam jalan tersebut.

Begitu pentingnya fokus dalam menjalani sesuatu, dalam apapun itu, namun dalam konteks ini, fokus untuk sentiasa berada dalam SHIRAT AL-MUSTAQIM. Sehingga Nabi kita yang mulia (Sha), sampai memvisualisasikan pelajarannya di atas pepasir, dengan menggariskan bahwa inilah jalan yang lurus itu, fokus lah untuk mengikutinya, dan jangan terkecoh dengan panggilan kiri dan kanan yang melenakan, jangan terkelabui dengan panggilan kiri dan kanan yang menyediakan kenikmatan semu, karena di jalan SHIRAT AL-MUSTAQIM tersedia kenikmatan sesungguhnya nan abadi.
Inilah tingkat keteguhan untuk tujuan hidup yang tertinggi.

Bersama ruh ini, kita bisa aplikasikan dalam seluruh aktivitas kebaikan yang telah kita mulai. Jangan pernah berhenti sebelum manusia meraih hal terbaik dari apa yang telah ia mulai.

Maka dalam konteks ini, ATS-TSABAT memiliki unsur SHABR, dan ketika berbicara SHABR, minimal ia memiliki 3 dimensi:
1) Sabar dalam ketaqwaan;
2) Sabar dalam menjaga diri dari kemaksiatan;
3) Sabar ketika diujikan dengan musibah pada kesempatan pertama.

Kalau begitu, apa kaitannya dengan surat Ali 'Imran?

💦Pertama, yang harus dipahami, bahwa setiap ayat di dalam sebuah surah, atau antara surah dengan surah, atau ayat dengan surah, memiliki kesatuan makna yang saling menguatkan. Inilah keindahan Al-Qur'an.

💦Kedua, nama dari sebuah surah perlu ditadabburi karena ia merupakan topik utama yang mengandung banyak pelajaran

💦Ketiga, karena ternyata di dalam surah ini mengandung banyak pelajaran ATS-TSABAT

▶Apa yang membuat seseorang berada pada sebuah jalan? PETUNJUK (Al-HUDA)

▶Apa yang membuat seseorang tetap berada pada sebuah jalan? PETUNJUK (AL-HUDA)

▶Untuk apa seseorang berada di dalam sebuah jalan? PETUNJUK (AL-HUDA)

▶Setiap hari, muslim berdo'a kepada Allah Swt untuk memohon AL-HUDA. Betul?
IHDINA, Berikan kami HUDA
Selalulah berdoa dengan seluruh adabnya
Setelah manusia memujinya, menegaskan penghambaannya, ia berdo'a : IHDINA

Berikan kami HUDA

🌹Dan ternyata Allah Swt segera menjawab di dalam Q.S. Al-Baqarah, 'Fiihi HUDA"

🌹Dan ternyata Allah Swt membimbing kita di dalam Q.S. Ali 'Imran untuk sentiasa memohon agar HUDA itu tidak tercerabut, "Rabbanaa Laa Tuzigh Quluubanaa ba'da Idz HADAItanaa ....."

Maka sudahkah kita membaca do'a 'IHDINA' itu dengan seluruh kekhawatiran bahwa do'a kita tidak dikabulkannya, dengan seluruh pengharapan lirih bahwa do'a kita dikabulkannya ..... (Introspeksi Diri)

Selanjutnya ... jika antum perhatikan, Surat Al Fatihah diakhiri dengan do'a, ternyata Surat Al Baqarah pun diakhiri dengan do'a (Rabbanaa Laa tahmil 'alainaa ....), dan ternyata Surat Ali 'Imran pun diakhiri dengan do'a setelah manusia diminta untuk sentiasa ingat kepadanya (Rabbanaa innaka man tudkhilinnaara faqad akhzaitah ....)

Inilah mengapa Nabi Saw mengajak umatnya, 'TA'ALLAMUU, Pelajarilah kedua surat ini.', dua surat yang disebut dengan ZAHRAWAAN, dua surat yang bercahaya.

🌿Perlu antum ketahui, bahwa Surat Ali 'Imran diturunkan setelah Surat Al-Anfal, namun disusun setelah Surat Al-Baqarah.

🌿Perlu antum ketahui, bahwa Surat ini bukan diturunkan kepada manusia yang baru mengenal Islam, tapi Surat ini diturunkan 20 tahun setelah masa kenabian. Diturunkan kepada manusia yang sudah melewati ragam tribulasi dakwah!

🚀Dan ternyata seluruh isinya berkaitan dengan ATS-TSABAT (Keteguhan), dan ternyata semakin lama manusia ber-Islam, ia tetap perlu dikuatkan motivasinya agar sentiasa di dalam AL-HUDA.

Ini yang membuat bahwa tema ATS-TSABAT akan selalu relevan dalam seluruh umur-umur kita, karena umumnya manusia dalam berjalan menuju SHIRAT AL-MUSTAQIM sering terganggu karena dua hal, kita sebut saja FAKTOR INTERNAL dan FAKTOR EKSTERNAL.

✅Kita sebut Faktor Internal, karena biasanya Ats-Tsabat terganggu karena sesuatu yang datang dari dalam diri, mungkin berwujud pemikiran 'menyimpang' karena berpikir mendalam tapi tidak di bawah naungan wahyu.

✅Kita sebut Faktor Eksternal, karena biasanya Ats-Tsabat terganggu karena faktor-faktor dari luar dirinya. Bukan berarti manusia meninggalkan jalan AL-HUDA, tapi mungkin ia sekedar TIDAK MEMPRIORITASKANNYA, karena kesibukannya di dunia mengejar harta, tahta dan wanita.

Allah Swt sangat mengetahui fitrah manusia tersebut, maka membaca Surat Ali 'Imran perlu memahami bahwa surat ini memberi ruang dialog dan obat untuk kedua persoalan tersebut, dan hal ini dapat kita lihat bahwa FAKTOR INTERNAL dirangkum dalam ayat 01-120, dan FAKTOR EKSTERNAL dirangkum dalam ayat 121-200.

Apa hal besar yang diangkat dalam kedua bagian besar itu dalam konteks Surat Ali 'Imran?

Berbicara tentang Faktor Internal akibat pemikiran yang terganggu, Allah Swt mengangkat kisah 60 Nasrani ditemani 10 pemuka agamanya untuk berdebat dengan Nabi Saw terkait konsep Isa a.s sebagai Nabi.

Berbicara tentang Faktor Eksternal akibat gangguan luar yang membuatnya tidak memprioritaskan tujuan utamanya, Allah Swt mengangkat kisah Perang UHUD.

Islam adalah agama Ilmiah dan Dialog, disinilah KASIH dan DAMAI Islam.

Hal itu tercermin, betapa perbedaan pemikiran antara Nabi Saw dan 70 orang Nasrani adalah 180 derajat, namun Nabi Saw mencontohkan betapa akhlaknya dalam melayani tamunya sangat-sangat luar biasa.

Dengan penuh hikmah Nabi Saw mengajarkan Nasrani logika berpikir yang benar, mulai dari permisalan-permisalah sederhana, mulai meningkat medium, hingga puncaknya ketika tidak ada kata sepakat, muncullah MUBAHALAH!

Dan TERNYATA ... setelah itu Allah tutup pembicaraan itu dengan konsep SABAR, baca ayat 120!

Ingat bahwa mujahid perang UHUD adalah Alumni BADAR, profesionalitasnya luar biasa, tapi tetap SABAR menjadi penting, maka Allah tutup pembicaraan itu, bahkan surat itu, dengan konsep SABAR, baca ayat 200!

Wahai orang-orang beriman, bersabarlah, dan bantulah sekitarmu untuk bersabar, dan tetaplah, teguhlah, profesionallah, dalam amanah, tugas, beban yang dipercayakan kepadamu!

Ya bahwa ALIF LAM MIM (Bukan judul film Indonesia), terkadang dimaknai sebagai nama Surat, Nama Ayat, atau huruf-huruf muqotha'ah tanpa makna, tapi juga para ulama mengingatkan bahwa ALIF LAM MIM adalah juga huruf-huruf Arab yang digunakan oleh orang-orang Nasrani sehari-harinya.

Maka kalau memang mereka mampu, cobalah buat surat yang memiliki ruh seperti AL-HUDA! Padahal AL-HUDA itu telah diwahyukan dengan ruh bagi para pembacanya!

Hanya di surat ini kemudian ditegaskan secara berulang bahwa ISLAM BUKAN AGAMA YANG PALING BENAR, setuju?

Maka untuk mencapai ATS-TSABAT itu, minimal ada 5 (LIMA) hal yang bisa kita lakukan:

🔹1) Banyak berdo'a dan berlindung kepada-Nya, banyak sekali do'a bertaburan menyelingi setiap pelajaran di surat ini, diantaranya WA TSABBIT AQDAAMANAA (TEGUHKAN/TETAPKAN PENDIRIKAN KAMI);

🔹2) Banyak beribadah, karena ibadah adalah ruh dan sumber motivasi;

🔹3) Dakwah, karena dakwah melibatkan dialogis, mau'izhah, semangat menuntut ilmu, memindahkan fikrah dalam otak manusia dari situasi kepuasan (qana'ah) kepada wilayah identitas (hawiyah) dan loyalitas (intima');

🔹4) Menghayati betapa jelasnya tujuan hidupnya; dan

🔹5) Ukhuwah.

Maka inilah rahasia mengapa surat ini dinamakan ALI 'IMRAN, karena Allah Swt telah mengangkat dua figur wanita terbaik (Istri 'Imran, dan Maryam) sebagai contoh keteladanan dalam ATS-TSABAT! Bahkan karena keteguhannya, Nabi Zakaria a.s. pun belajar kepada Maryam, karena wanita terkadang dapat dijadikan contoh sebagai SIMBOL KETEGUHAN, maka jangan lupa, setelah surat Ali 'Imran, dihadirkan Surat An-Nisa' (WANITA).

Maka ana tutup dengan do'a, Yaa Muqallibal Quluub, TSABBIT Quluubana 'alaa diinika, Yaa Musharrifal Quluub, Sharrif Quluubanaa 'alaa Thaa'atika.

Selanjutnya silahkan sharing pendapatnya.

Nas-alullaaha salaamatan wal 'aafiyah, al-'afwu minkum, Assalaamu 'alaikum warahmatullaahi wa barakaatuh.

🌿🌺🍂🍀🌼🍄🌷🍁🌹

Dipersembahkan:
www.iman-islam.com

💼 Sebarkan! Raih pahala...

Friday, August 12, 2016

Kisah Imam Bukhari Sang Ulama Hadis Yang Terfitnah



Imam Bukhari (194-256H)


Negeri Bukhara sebagai negeri muara sungai Jihun yang terletak di sebelah utara Afghanistan dan sebelah selatan Ukraina adalah negeri yang banyak melahirkan imam-imam Ahlul hadits dan Ahlul fiqh.

Negeri itu menyimpan kenangan sejarah perjuangan para imam-imam Muslimin dalam berbagai bidang ilmu-ilmu Al-Qur’an dan Al-Hadits.

Dapat disebutkan di sini, para Imam Ahlul Hadits yang lahir dan dibesarkan di negeri Bukhara antara lain adalah:

Al-Imam Abdullah bin Muhammad Abu Ja’far Al-Musnadi Al-Bukhari yang meninggal dunia di negeri tersebut pada hari Kamis bulan Dzulqa’dah tahun 220 H. dan kemudian juga lahir di Bukhara, Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim Al-Bukhari yang lahir pada tahun 194 Hijriyah dan wafat pada tahun 256 H di sebuah desa bernama Khortanak menuju arah Samarkan.

Juga lahir dan dibesarkan di negeri ini Al-Imam Abi Naser Ahmad bin Muhammad bin Al-Husain Al-Kalabadzi Al-Bukhari yang lahir tahun 323 H dan meninggal tahun 398 H. dan masih banyak lagi deretan para imam-imam besar Ahli hadits yang menghiasi indahnya sekarah negeri Bukhara.

Tetapi di masa kini kaum Muslimin di dunia, apabila disebut Imam Bukhari, maka yang dipahami hanyalah Imam Ahlul Hadits dari negeri Bukhara yang bernama Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Bardizbah Al-Bukhari. Karena karya beliau yang amat masyhur di kalangan kaum Muslimin di dunia ialah: Al-Jami’us Shahih Al-Musnad min Haditsi Rasulillah wa Sunanihi wa Ayyamihi yang kemudian terkenal dengan nama kitab Shahih Al-Bukhari. Kata “Bukhari” itu sendiri maknanya ialah: Orang dari negeri Bukhara. Jadi kalau dikatakan “Imam Bukhari” maknanya ialah seorang tokoh dari negeri Bukhara.

Al-Bukhari Di Masa Kecil

Nasab kelengkapan dari tokoh yang sedang kita bincangkan ini adalah sebagai berikut: Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al-Mughirah bin Bardizbah. Kakek (Zoroaster) sebagai agama asli orang-orang Persia yang menyembah api. Sang kakek tersebut meninggal dalam keadaan masih beragama Majusi. Putra dari Bardizbah yang bernama Al-Mughirah kemudian masuk Islam di bawah bimbingan gubernur negeri Bukhara Yaman Al-Ju’fi sehingga Al-Mughirah dengan segenap anak cucunya dinisbatkan kepada kabilah Al-Ju’fi. Dan ternyata cucu dari Al-Mughirah ini di kemudian hari mengukir sejarah yang agung, yaitu sebagai seorang Imam Ahlul Hadits.

Al-Imam Al-Bukhari lahir pada hari Jum’at tanggal 13 Syawal 194 H di negeri Bukhara di tengah keluarganya yang cinta ilmu sunnah Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa sallam. Karena ayah beliau bernama Ismail bin Ibrahim bin Al-Mughirah adalah seorang ulama Ahli hadits yang meriwayatkan hadits-hadits Nabi dari Imam Malik bin Anas, Hammad bin Zaid, dan sempat pula berpegang tangan dengan Abdullah bin Mubarak. Riwayat-riwayat Ismail bin Ibrahim tentang hadits Nabi tersebar di kalangan orang-orang Iraq.

Ayah Al-Bukhari meninggal dunia ketika beliau masih kecil. Di saat menjelang wafatnya, Ismail bin Ibrahim sempat membesarkan hati anaknya yang masih kecil sembari menyatakan kepadanya: “Aku tidak mendapati pada hartaku satu dirham pun dari harta yang haram atau satu dirham pun dari harta yang syubhat.” Tentu anak yang ditumbuhkan dari harta yang bersih dari perkara haram atau syubhat akan lebih baik dan mudah dididik kepada yang baik. Sehingga sejak wafatnya sang ayah, Al-Bukhari hidup sebagai anak yatim dalam dekapan kasih sayang ibunya.

Muhammad bin Ismail mendapat perhatian penuh dari ibunya. Sejak usianya yang masih muda dia telah hafal Al-Qur’an dan tentunya belajar membaca dan menulis. Kemudian pada usia sepuluh tahun, Muhammad kecil mulai bersemangat mendatangi majelis-majelis ilmu hadits yang tersebar di berbagai tempat di negeri Bukhara. Pada usia sebelas tahun, dia sudah mampu menegur seorang guru ilmu hadits yang salah dalam menyampaikan urut-urutan periwayatan hadits (yang disebut sanad).

Usia kanak-kanak beliau dihabiskan dalam kegiatan menghafal ilmu dan memahaminya sehingga ketika menginjak usia remaja –enam belas tahun–, beliau telah hafal kitab-kitab karya imam-imam Ahli hadits dari kalangan tabi’it tabi’in (generasi ketiga umat Islam), seperti karya Abdullah bin Al-Mubarak, Waqi’ bin Al-Jarrah, dan memahami betul kitab-kitab tersebut.

Usia kanak-kanak Muhammad bin Ismail telah berlalu dengan agenda belajar yang amat padat. Kesibukannya di masa kanak-kanak dalam menghafal dan memahami ilmu, mengantarkannya kepada masa remaja yang cemerlang dan menakjubkan. Kini ia menjadi remaja yang amat diperhitungkan orang di majelis manapun dia hadir. Karena dalam usia belasan tahun seperti ini dia telah hafal di luar kepala tujupuluh ribu hadits lengkap dengan sanadnya di samping tentunya Al-Qur’an tiga puluh juz.

Melanglang Buana Menuntut Ilmu

Di awal usianya yang ke delapan belas, Al-Bukhari diajak ibunya bersama kakaknya bernama Ahmad bin Ismail berangkat ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Perjalanan jauh antara negeri Bukhara dengan Mekkah menunggang unta, keledai dan kuda adalah pengalaman baru baginya. Sehingga dia terbiasa dengan berbagai kesengsaraan perjalanan jauh mengarungi padang pasir, gunung-gunung dan lembahnya yang penuh keganasan alam. Dalam kondisi yang demikian, dia merasa semakin dekat kepada Allah dan dia benar-benar menikmati perjalanan yang memakan waktu berbulan-bulan itu.

Sesampainya di Makkah, Al-Bukhari mendapati kota Makkah penuh dengan ulama Ahli Hadits yang membuka halaqah-halaqah ilmu.

Tentu yang demikian ini semakin menggembirakan beliau. Oleh karena itu, setelah selsai pelaksanaan ibadah haji, beliau tetap tinggal di Makkah sementara kakak kandungnya kembali ke Bukhara bersama ibunya.

Beliau bolak-balik antara Makkah dan Madinah, kemudian akhirnya mulai menulis biografi para tokoh. Sehingga lahirlah untuk pertama kalinya karya beliau dalam bidang ilmu hadits yang berjudul Kitabut Tarikh. Ketika kitab karya beliau ini mulai tersebar ke seluruh penjuru dunia Islam, ramailah pembicaraan orang tentang tokoh ilmu hadits tersebut dan semua orang amat mengaguminya. Sampai-sampai seorang Imam Ahli Hadits di masa itu yang bernama Ishaq bin Rahuyah membawa Kitabut Tarikh karya Al-Bukhari ini ke hadapan gubernur negeri Khurasan yang bernama Abdullah bin Thahir Al-Khuza’i, sembari mengatakan: “Wahai tuan gubernur, maukah aku tunjukkan kepadamu atraksi sihir?” Kemudian ditunjukkan kepadanya kitab ini.

Maka gubernur pun membaca kitab tersebut dan beliau sangat kagum dengannya. Sehingga tuan gubernur pun mengatakan: “Aku tidak mengerti bagaimana dia bisa mengarang kitab ini.” Al-Imam Al-Bukhari pun akhirnya menjadi amat terkenal di berbagai negeri Islam. Ketika Al-Imam Al-Bukhari berkeliling ke berbagai negeri tersebut, beliau mendapati betapa para ulama Ahlul Hadits di setiap negeri tersebut sangat menghormatinya. Beliau berkeliling ke berbagai negeri pusat-pusat ilmu hadits seperti Mesir, Syam, Baghdad (Iraq), Bashrah, Kufah dan lain-lainnya.

Di saat berkeliling ke berbagai negeri itu, beliau suatu hari duduk di majlisnya Ishaq bin Rahuyah. Di sana ada satu saran dari hadirin untuk kiranya ada upaya mengumpulkan hadits-hadits Nabi dalam satu kitab. Dengan usul ini mulailah Al-Imam Al-Bukhari menulis kitab shahihnya dan kitab tersebut baru selesai dalam tempo enam belas tahun sesudah itu. Beliau menuliskan dalam kitab ini hadits-hadits yang diyakini shahih oleh beliau setelah menyaring dan meneliti enam ratus ribu hadits.

Beliau pilih daripadanya tujuh ribu dua ratus tujupuluh lima hadits shahih dan seluruhnya dikumpulkan dalam satu kitab dengan judul Al-Jami’us Shahih Al-Musnad min Haditsi Rasulillah wa Sunani wa Ayyamihi yang kemudian terkenal dengan nama kitab Shahih Al-Bukhari. Kitab ini pun mendapat pujian dan sanjungan dari berbagai pihak di seantero negeri-negeri Islam. Sehingga ketokohan beliau dalam ilmu hadits semakin diakui kalangan luas dunia Islam. Para imam-imam Ahli Hadits sangat memuliakannya, seperti Imam Ahmad bin Hanbal, Ali bin Al-Madini, Yahya bin Ma`in dan lain-lainnya.

Imam Al-Bukhari Disanjung Di Mana-Mana

Karya-karya beliau dalam bidang hadits terus mengalir dan beredar di dunia Islam. Kepiawaian beliau dalam menyampaikan keterangan tentang berbagai kepelikan di seputar ilmu hadits di berbagai majelis-majelis ilmu bersinar cemerlang sehingga beliau dipuji dan diakui keilmuannya oleh para gurunya dan para ulama yang setara ilmunya dengan beliau, lebih-lebih lagi oleh para muridnya. Beliau menimba ilmu dari seribu lebih ulama dan semua mereka selalu mempunyai kesan yang baik, bahkan kagum terhadap beliau.

Al-Imam Al-Hafidh Abil Hajjaj Yusuf bin Al-Mizzi meriwayatkan dalam kitabnya yang berjudul Tahdzibul Kamal fi Asma’ir Rijal beberapa riwayat pujian para ulama Ahli hadits dan sanjungan mereka terhadap Muhammad bin Ismail Al-Bukhari. Di antara beberapa riwayat itu antara lain ialah pernyataan Al-Imam Mahmud bin An-Nadhir Abu Sahl Asy-Syafi’i yang menyatakan: “Aku masuk ke berbagai negeri yaitu Basrah, Syam, Hijaz dan Kufah. Aku melihat di berbagai negeri tersebut bahwa para ulamanya bila menyebutkan Muhammad bin Ismail Al-Bukhari selalu mereka lebih mengutamakannya daripada diri-diri mereka.”

Karena itu majelis-majelis ilmu Al-Imam Al-Bukhari selalu dijejali ribuan para penuntut ilmu. Dan bila beliau memasuki suatu negeri, puluhan ribu bahkan ratusan ribu kaum Muslimin menyambutnya di perbatasan kota karena beberapa hari sebelum kedatangan beliau, telah tersebar berita akan datangnya Imam Ahlul Hadits, sehingga kaum Muslimin pun berjejal-jejal berdiri di pinggir jalan yang akan dilewati beliau hanya untuk sekedar melihat wajah beliau atau kalau bernasib baik, kiranya dapat bersalaman dengan beliau.

Al-Imam Muhammad bin Abi Hatim meriwayatkan bahwa Hasyid bin Ismail dan seorang lagi (tidak disebutkan namanya), keduanya menceritakan: “Para ulama Ahli Hadits di Bashrah di jaman Al-Bukhari masih hidup merasa lebih rendah pengetahuannya dalam hadits dibanding Al-Imam Al-Bukhari. Padahal beliau ini masih muda belia. Sehingga pernah ketika beliau berjalan di kota Bashrah, beliau dikerumuni para penuntut ilmu. Akhirnya beliau dipaksa duduk di pinggir jalan dan dikerumuni ribuan orang yang menanyakan kepada beliau berbagai masalah agama. Padahal wajah beliau masih belum tumbuh rambut pada dagunya dan juga belum tumbuh kumis.”

Datanglah Badai Menghempas

Muhammad bin Ismail Al-Bukhari dielu-elukan dan disanjung orang di mana-mana. Pujian penuh ketakjuban datang dari segala penjuru negeri, dan beliau dijadikan rujukan para ulama di masa muda belia. Di saat penuh kesibukan ibadah dan ilmu yang menghiasi detik-detik kehidupan Al-Bukhari, pada sebagian orang muncul iri dengki terhadap berbagai kemuliaan yang Allah limpahkan kepadanya.

Badai itu bermula dari kedatangan beliau pada suatu hari di negeri Naisabur dalam rangka menimba ilmu dari para imam-imam Ahli Hadits di sana. Kedatangan beliau ke negeri tersebut bukanlah untuk pertama kalinya. Beliau sebelumnya sudah berkali-kali berkunjung ke sana karena Nasaibur termasuk salah satu pusat markas ilmu sunnah. Lagi pula di sana terdapat guru beliau, seorang Ahli Hadits yang bernama Muhammad bin Yahya Adz-Dzuhli. Pada suatu hari tersebarlah berita gembira di Naisabur bahwa Muhammad bin Ismail Al-Bukhari akan datang ke negeri tersebut untuk tinggal padanya beberapa lama.

Bahkan Al-Imam Muhammad bin Yahya Adz-Dzuhli mengumumkan secara khusus di majelis ilmunya dengan menyatakan: “Barangsiapa ingin menyambut Muhammad bin Ismail besok, silakan menyambutnya karena aku akan menyambutnya.” Maka masyarakat luas pun bergerak mengadakan persiapan untuk menyambut kedatangan Imam besar Ahli Hadits di kota mereka.

Di hari kedatangan Imam Al-Bukhari itu, ribuan penduduk Naisabur bergerombol di pinggir kota untuk menyambutnya. Di antara yang berkerumun menunggu kedatangan beliau itu ialah Al-Imam Muhammad bin Yahya Adz-Dzuhli bersama para ulama lainnya.

Diriwayatkan oleh Muhammad bin Ya’qub Al-Akhram bahwa ketika Al-Bukhari sampai di pintu kota Naisabur, yang menyambutnya sebanyak empat ribu orang berkuda, di samping yang menunggang keledai dan himar serta ribuan pula yang berjalan kaki.”

Imam Muslim bin Al-Hajjaj menceritakan: “Ketika Muhammad bin Ismail datang ke Naisabur, semua pejabat pemerintah dan semua ulama menyambutnya di batas negeri.”

Ketika Al-Imam Muhammad bin Ismail Al-Bukhari sampai di Naisabur, para penduduk menyambutnya dengan penyambutan yang demikian besar dan agung. Beribu-ribu orang berkerumun di tempat tinggal beliau setiap harinya untuk menanyakan kepada beliau berbagai masalah agama dan khususnya berbagai kepelikan tentang hadits. Akibatnya berbagai majelis ilmu para ulama yang lainnya menjadi sepi pengunjung. Dari sebab ini mungkin timbul ketidakenakan di hati sebagian ulama itu terhadap Al-Bukhari.

Di hari ketiga kunjungan beliau ke Naisabur, terjadilah peristiwa yang amat disesalkan itu. Diceritakan oleh Ahmad bin Adi peristiwa itu terjadi sebagai berikut:

Telah menceritakan kepadaku sekelompok ulama bahwa ketika Muhammad bin Ismail sampai ke negeri Naisabur dan orang-orang pun berkumpul mengerumuninya, maka timbullah kedengkian padanya dari sebagian ulama yang ada pada waktu itu. Sehingga mulailah diberitakan kepada para ulama Ahli hadits bahwa Muhammad bin Ismail berpendapat bahwa lafadh beliau ketika membaca Al-Qur’an adalah makhluk.

Pada suatu majelis ilmu, ada seseorang berdiri dan bertanya kepada beliau: “Wahai Abu Abdillah (yakni Al-Bukhari), apa pendapatmu tentang orang yang menyatakan bahwa lafadhku ketika membaca Al-Qur’an adalah makhluk? Apakah memang demikian atau lafadh orang yang membaca Al-Qur’an itu bukan makhluk?”

Mendengar pertanyaan itu, beliau berpaling karena tidak mau menjawabnya. Akan tetapi si penanya mengulang-ulang terus pertanyaannya hingga sampai ketiga kalinya seraya memohon dengan sangat agar beliau menjawabnya. Al-Bukhari pun akhirnya menjawab dengan mengatakan: “Al-Qur’an kalamullah (perkataan Allah) dan bukan makhluk. Sedangkan perbuatan hamba Allah adalah makhluk, dan menguji orang dalam masalah ini adalah perbuatan bid’ah.”

Dengan jawaban beliau ini, si penanya membikin ricuh di majelis dan mengatakan tentang Al-Bukhari: “Dia telah menyatakan bahwa lafadhku ketika membaca Al-Qur’an adalah makhluk.” Akibatnya orang-orang di majelis itu menjadi ricuh dan mereka pun segera membubarkan diri dari majelis itu dan meninggalkan beliau sendirian. Sejak itu Al-Bukhari duduk di tempat tinggalnya dan orang-orang pun tidak lagi mau datang kepada beliau.”

Al-Khatib Al-Baghdadi meriwayatkan dari Ahmad bin Muhammad bin Ghalib dengan sanadnya dari Muhammad bin Khasynam menceritakan: “Setelah orang meninggalkan Al-Bukhari, orang-orang yang meninggalkan beliau itu sempat datang kepada beliau dan mengatakan: “Engkau mencabut pernyataanmu agar kami kembali belajar di majelismu.” Beliau menjawab: “saya tidak akan mencabut pernyataan saya kecuali bila mereka yang meninggalkanku menunjukkan hujjah (argumentasi) yang lebih kuat dari hujjahku.”

Kata Muhammad bin Khasynam: “Sungguh aku amat kagum dengan tegarnya dan kokohnya Al-Bukhari dalam berpegang dengan pendirian.”

Kaum Muslimin di Naisabur gempar dengan kejadian ini dan akhirnya arus fitnah melibatkan pula Al-Imam Muhammad bin Yahya Adz-Dzuhli sehingga beliau menyatakan di majelis ilmu beliau yang kini telah ramai kembali setelah orang meninggalkan majelis Al-Bukhari: “Ketahuilah, sesungguhnya siapa saja yang masih mendatangi majelis Al-Bukhari, dilarang datang ke majelis kita ini. Karena orang-orang di Baghdad telah memberitakan melalui surat kepada kami bahwa orang ini (yakni Al-Bukhari) mengatakan bahwa lafadhku ketika membaca Al-Qur’an adalah makhluk. Kata mereka yang ada di Baghdad bahwa Al-Bukhari telah dinasehati untuk jangan berkata demikian, tetapi dia terus mengatakan demikian. Oleh karena itu, jangan ada yang mendekatinya dan barangsiapa mendekatinya maka janganlah mendekati kami.”

Tentu saja dengan telah terlibatnya Imam Adz-Dzuhli, fitnah semakin meluas. Hal ini terjadi karena Adz-Dzuhli adalah imam yang sangat berpengaruh di seluruh wilayah Khurasan yang beribukota di Naisabur itu. Bahkan lebih lanjut Al-Imam Adz-Dzuhli menegaskan: “Al-Qur’an adalah kalamullah (yakni firman Allah) dan bukan makhluk dari segala sisinya dan dari segala keadaan. Maka barangsiapa yang berpegang dengan prinsip ini, sungguh dia tidak ada keperluan lagi untuk berbicara tentang lafadhnya ketika membaca Al-Qur’an atau omongan yang serupa ini tentang Al-Qur’an.

Barangsiapa yang menyatakan bahwa Al-Qur’an itu makhluk, maka sungguh dia telah kafir dan keluar dari iman, dan harus dipisahkan dari istrinya serta dituntut untuk taubat dari ucapan yang demikian. Bila dia mau taubat maka diterima taubatnya. Tetapi bila tidak mau taubat, harus dipenggal lehernya dan hartanya menjadi rampasan Muslimin serta tidak boleh dikubur di pekuburan kaum Muslimin. Dan barangsiapa yang bersikap abstain dengan tidak menyatakan Al-Qur’an sebagai makhluk dan tidak pula menyatakan Al-Qur’an bukan makhluk, maka sungguh dia telah menyerupai orang-orang kafir. Barangsiapa yang menyatakan “lafadhku ketika membaca Al-Qur’an adalah makhluk”, maka sungguh dia adalah Ahli Bid’ah (yakni orang yang sesat). Tidak boleh duduk bercengkrama dengannya dan tidak boleh diajak bicara. Oleh karena itu, barangsiapa setelah penjelasan ini masih saja mendatangi tempatnya Al-Bukhari, maka curigailah ia karena tidaklah ada orang yang tetap duduk di majelisnya kecuali dia semadzhab dengannya dalam kesesatannya.”

Dengan pernyataan Adz-Dzuhli seperti ini, berdirilah dari majelis itu Imam Muslim bin Hajjaj dan Ahmad bin Salamah. Bahkan Imam Muslim mengirimkan kembali kepada Adz-Dzuhli seluruh catatan riwayat hadits yang didapatkannya dari Imam Adz-Dzuhli, sehingga dalam Shahih Muslim tidak ada riwayat Adz-Dzuhli dari berbagai sanad yang ada padanya.

Sikap Imam Muslim bin Hajjaj dan Ahmad bin Salamah yang seperti itu menyebabkan Adz-Dzuhli semakin marah sehingga beliau pun menyatakan: “Orang ini (yakni Al-Bukhari) tidak boleh bertempat tinggal di negeri ini bersama aku.”

Kemarahan Adz-Dzuhli seperti ini sangat menggusarkan Ahmad bin Salamah, salah seorang pembela Al-Bukhari. Dia segera mendatangi Al-Bukhari seraya mengatakan: “Wahai Abu Abdillah (yakni Al-Bukhari), orang ini (yakni Adz-Dzuhli) sangat berpengaruh di Khurasan, khususnya di kota ini (yakni kota Naisabur). Dia telah terlalu jauh dalam berbicara tentang perkara ini sehingga tak seorang pun dari kami bisa menasehatinya dalam perkara ini. Maka bagaimana pendapatmu?”

Al-Imam Al-Bukhari amat paham kegusaran muridnya ini sehingga dengan penuh kasih sayang beliau memegang jenggot Ahmad bin Salamah dan membaca surat Ghafir 44 yang artinya: “Dan aku serahkan urusanku kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Melihat hamba-hamba-Nya.” Kemudian beliau menunduk sambil berkata: “YA Allah, sungguh Engkau tahu bahwa aku tinggal di Naisabur tidaklah bertujuan jahat dan tidak pula bertujuan dengan kejelekan. Engkau juga mengetahui ya Allah, bahwa aku tidak mempunyai ambisi untuk memimpin. Hanyasaja karena aku terpaksa pulang ke negeriku karena para penentangku telah menguasai keadaan. Dan sungguh orang ini (yakni Adz-Dzuhli) membidikku semata-mata karena hasad (dengki) terhadap apa yang Allah telah berikan kepadaku daripada ilmu.” Wajah beliau sendu menyimpan kekecewaan yang mendalam. Dan dia menatap Ahmad bin Salamah dengan mantap sambil berkata: “wahai Ahmad, aku akan meninggalkan Naisabur besok agar kalian terlepas dari berbagai problem akibat omongannya (yakni omongan Adz-Dzuhli) karena sebab keberadaanku.” Segera setelah itu Al-Bukhari berkemas-kemas untuk mempersiapkan keberangkatannya besok kembali ke negeri Bukhara.

Rencana Al-Bukhari untuk pulang ke negeri Bukhara sempat diberitakan oleh Ahmad bin Salamah kepada segenap kaum Muslimin di Naisabur, tetapi mereka tidak ada yang berselera untuk melepasnya di batas kota. Sehingga Al-Imam Al-Bukhari dilepas kepulangannya oleh Ahmad bin Salamah saja dan beliau berjalan sendirian menempuh jalan darat yang jauh menuju negerinya yaitu Bukhara. “Selamat tinggal Naisabur, rasanya tidak mungkin lagi aku berjumpa denganmu.”

Badai Di Negeri Bukhara

Di negeri Bukhara telah tersebar berita bahwa Imam Muhammad bin Ismail Al-Bukhari sedang menuju Bukhara. Penduduk Bukhara melakukan berbagai persiapan untuk menyambutnya di pintu kota. Bahkan diceritakan oleh Ahmad bin Mansur Asy-Syirazi bahwa dia mendengar dari berbagai orang yang menyaksikan peristiwa penyambutan Al-Bukhari di negeri Bukhara, dikatakan bahwa masyarakat membangun gapura penyambutan di tempat yang berjarak satu farsakh (kurang lebih 5 km) sebelum masuk kota Bukhara. Dan ketika Al-Imam Muhammad bin Ismail Al-Bukhari telah sampai di gapura “selamat datang” tersebut, beliau mendapati hampir seluruh penduduk negeri Bukhara menyambutnya dengan penuh suka cita, sampai-sampai disebutkan bahwa penduduk melemparkan kepingan emas dan perak di jalan yang akan diinjak oleh telapak kaki Al-Bukhari. Mereka berdiri di kedua sisi jalan masuk kota Bukhara sambil berebut memberikan buah anggur yang istimewa kepada sang Imam Ahlul Hadits yang amat mereka cintai itu.

Tetapi suka cita penduduk negeri Bukhara ini tidak berlangsung lama. Beberapa hari setelah itu para ahli fikih mulai resah dengan beberapa perubahan pada cara beribadah orang-orang Bukhara. Yang berlaku di negeri tersebut adalah madzhab Hanafi, sedangkan Al-Bukhari mengajarkan hadits sesuai dengan pengertian Ahli Hadits yang tidak terikat dengan madzhab tertentu sehingga yang nampak pada masyarakat ialah sikap-sikap yang diajarkan oleh Ahli Hadits, dan bukan pengamalan madzhab Hanafi. Orang dalam beriqamat untuk shalat jamaah tidak lagi menggenapkan bacaan qamat seperti adzan, tetapi membaca qamat dengan satu-satu sebagaimana yang ada dalam hadits-hadits shahih. Ketika bertakbir dalam shalat semula tidak mengangkat tangan sebagaimana madzhab Hanafi, sekarang mereka bertakbir dengan mengangkat tangan.

Dengan berbagai perubahan ini keresahan para ulama fiqih tambah menjadi-jadi sehingga tokoh ulama fiqih di negeri tersebut yang bernama Huraits bin Abi Wuraiqa’ menyatakan tentang Al-Imam Al-Bukhari: “Orang ini pengacau. Dia akan merusakkan kehidupan keagamaan di kota ini. Muhammad bin yahya telah mengusir dia dari Naisabur, padahal dia imam Ahli Hadits.”

Maka Huraits dan kawan-kawannya mulai berusaha untuk mempengaruhi gubernur Bukhara agar mengusir Al-Imam Muhammad bin Ismail Al-Bukhari ini. Gubernur negeri ini yang bernama Khalid bin Ahmad As-Sadusi Adz-Dzuhli.

Gubernur Khalid pernah meminta Al-Bukhari untuk datang ke istananya guna mengajarkan kitab At-Tarikh dan Shahih Al-Bukhari bagi anak-anaknya. Tetapi Al-Imam Al-Bukhari menolak permintaan gubernur tersebut dengan mengatakan: “Aku tidak akan menghinakan ilmu ini dan aku tidak akan membawa ilmu ini dari pintu ke pintu. Oleh karena itu bila anda memerlukan ilmu ini, maka hendaknya anda datang saja ke masjidku, atau ke rumahku. Bila sikapku yang demikian ini tidak menyenangkanmu, engkau adalah penguasa. Silakan engkau melarang aku untuk membuka majelis ilmu ini agar aku punya alasan di sisi Allah di hari kiamat bahwa aku tidaklah menyembunyikan ilmu (tetapi dilarang oleh penguasa untuk menyampaikannya).” Tentu gubernur Khalid dengan jawaban ini sangat kecewa. Maka berkumpullah padanya penghasutan Huraits bin Abil Wuraqa’ dan kawan-kawan serta kekecewaan pribadi gubernur ini. Huraits dan gubernur Khalid akhirnya sepakat untuk membikin rencana mengusir Muhammad bin Ismail dari Bukhara. Lebih-lebih lagi telah datang surat dari Al-Imam Muhammad bin Yahya Adz-Dzuhli dari Naisabur kepada gubernur Khalid bin Ahmad As-Sadusi Adz-Dzuhli di Bukhara yang memberitakan bahwa Al-Bukhari telah menampakkan sikap menyelisihi sunnah Nabi shallallahu `alaihi wa sallam. Dengan demikian matanglah rencana pengusiran Al-Imam Muhammad bin Ismail Al-Bukhari dari negeri Bukhara.

Upaya pengusiran itu bermula dengan dibacakannya surat Muhammad bin yahya Adz-Dzuhli di hadapan segenap penduduk Bukhara tentang tuduhan beliau kepada Al-Imam Muhammad bin Ismail Al-Bukhari bahwa beliau telah berbuat bid’ah dengan mengatakan bahwa “lafadhku ketika membaca Al-Qur’an adalah makhluk”. Tetapi dengan pembacaan surat, penduduk Bukhara pada umumnya tidak mau peduli dengan tuduhan tersebut dan terus memuliakan Al-Imam Al-Bukhari. Namun gubernur Khalid akhirnya mengusirnya dengan paksa sehingga Al-Imam Al-Bukhari sangat kecewa dengan perlakuan ini. Dan sebelum keluar dari negeri Bukhara, beliau sempat mendoakan celaka atas orang-orang yang terlibat langsung dengan pengusirannya. Ibrahim bin Ma’qil An-Nasafi menceritakan: “Aku melihat Muhammad bin Ismail pada hari beliau diusir dari negeri Bukhara, aku mendekat kepadanya dan aku bertanya kepadanya: “Wahai Abu Abdillah, apa perasaanmu dengan pengusiran ini?” Beliau menjawab: “Aku tidak peduli selama agamaku selamat.”

Al-Bukhari meninggalkan Bukhara dengan penuh kekecewaan dan dilepas penduduk Bukhara dengan penuh kepiluan. Beliau berjalan menuju desa Bikanda kemudian berjalan lagi ke desa Khartanka, yang keduanya adalah desa-desa negeri Samarkan. Di desa terakhir inilah beliau jatuh sakit dan dirawat di rumah salah seorang kerabatnya penduduk desa tersebut.

Dalam suasana hati yang terluka, tubuhnya yang kurus kering di usia ke enampuluh dua tahun, beliau berdoa mengadukan segala kepedihannya kepada Allah Ta`ala: “Ya Allah, bumi serasa sempit bagiku. Tolonglah ya Allah, Engkau panggil aku keharibaan-Mu.” Dan sesaat setelah itu ia pun menghembuskan nafas terakhir dan selamat tinggal dunia yang penuh onak dan duri.

Pembelaan Al-Bukhari

Al-Imam Abu Abdillah Muhammad bin Ismail Al-Bukhari mengakhiri hidupnya di desa Khartanka, Samarkan pada malam Sabtu di malam hari Raya Fitri (Iedul Fitri) 1 Syawsal 256 H. sebelum menghembuskan nafas yang terakhir, beliau sempat berwasiat agar mayatnya nanti dikafani dengan tiga lapis kain kafan tanpa imamah (ikat kepala) dan tanpa baju. Dan beliau berwasiat agar kain kafannya berwarna putih. Semua wasiat beliau itu dilaksanakan dengan baik oleh kerabat beliau yang merawat jenasahnya. Beliau dikuburkan di desa itu di hari Iedul Fitri 1 Syawal 256 H setelah shalat Dhuhur. Dan seketika selesai pemakamannya, tersebarlah bau harum dari kuburnya dan terus semerbak bau harum itu sampai berhari-hari.

Gubernur Bukhara Khalid bin Ahmad Adz-Dzuhli menuai hasil dari kedhalimannya dengan datangnya keputusan pencopotan terhadap jabatannya dari Khalifah Al-Muktamad karena tuduhan ikut terlibat pemberontakan Ya’qub bin Al-Laits terhadap Khilafah Ath-Thahir. Khalid bin Ahmad akhirnya dipenjarakan di Baghdad sampai mati di penjara pada tahun 269 H. Sedangkan Huraits bin Abil Waraqa’ ditimpa kehancuran pada anak-anaknya yang berbuat tidak senonoh. Para penentang Imam Bukhari menyatakan penyesalannya dan kesedihannya dengan wafatnya beliau dan sebagian mereka sempat mendatangi kuburnya.

Mulailah setelah itu orang berani menyebarkan pembelaan Al-Imam Al-Bukhari dari segala tuduhan miring terhadap dirinya. Tetapi berbagai pembelaan itu selama ini tenggelam dalam hiruk pikuk fitnah tuduhan keji terhadap diri beliau. Dan Allah Maha Adil terhadap hamba-hamba-Nya.

Muhammad bin Nasir Al-Marwazi mempersaksikan bahwa Al-Imam Abu Abdillah Muhammad bin Ismail Al-Bukhari menyatakan: “Barangsiapa yang mengatakan bahwa aku telah berpendapat bahwa lafadhku ketika membaca Al-Qur’an adalah makhluk, maka sungguh dia adalah pendusta, karena sesungguhnya aku tidak pernah mengatakan demikian.”

Abu Amr Ahmad bin Nasir An-Naisaburi Al-Khaffaf mempersaksikan bahwa Al-Imam Al-Bukhari telah mengatakan kepadanya: “Wahai Abu Amir, hafal baik-baik apa yang aku ucapkan: Siapa yang menyangka bahwa aku berpendapat bahwa lafadhku tentang Al-Qur’an adalah makhluk, baik dia dari penduduk Naisabur, Qaumis, Ar-Roy, Hamadzan, Hulwan, Baghdad, Kuffah, Basrah, Makkah, atau Madinah, maka ketahuilah bahwa yang menyangka aku demikian itu adalah pendusta. Karena sesungguhnya aku tidaklah mengatakan demikian. Hanya saja aku mengatakan: Segenap perbuatan hamba Allah itu adalah makhluk.”

Yahya bin Said mengatakan: “Abu Abdillah Al-Bukhari telah berkata: Gerak-gerik hamba Allah, suara mereka, tingkah laku mereka, segala tulisan mereka adalah makhluk. Adapun Al-Qur’an yang dibaca dengan suara huruf-huruf tertentu, yang ditulis di lembaran-lembaran penulisan Al-Qur’an, yang dihafal di hati para penghafalnya, maka semua itu adlaah kalamullah (perkataan Allah) dan bukan makhluk.”

Ghunjar membawakan riwayat dengan sanadnya sampai ke Al-Firabri, dia mengatakan bahwa Al-Bukhari telah mengatakan: “Al-Qur’an kalamullah dan bukan makhluk. Barangsiapa yang mengatakan bahwa Al-Qur’an itu makhluk maka sungguh dia telah kafir.” Bahkan Al-Imam Al-Bukhari menulis kitab khusus dalam masalah ini dengan judul Khalqu Af`alil Ibad yang padanya beliau menjelaskan pendirian beliau dalam masalah ini dengan gamblang dan jelas serta lengkap dan ilmiah.

Fitnah itu memang kejam, lebih kejam dari pembunuhan. Dia tidak akan memilih antara orang jahil atau orang alim dari kalangan ulama. Dan ulama pun bisa salah dalam memberikan penilaian, karena yang ma’shum (terjaga dari kesalahan) hanyalah Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam. Orang-orang yang menyakini bahwa ulama itu ma’shum hanyalah para ahli bid’ah dari kalangan Rafidlah (Syiah) atau orang-orang sufi. Demikian pula orang-orang yang mencerca ulama karena kesalahannya semata tanpa mempertimbangkan apakah kesalahan itu karena kesalahan ijtihad ataukah kesalahan prinsip yang tak termaafkan, yang demikian ini adalah sikap sufaha’ (orang-orang dungu) semacm sururiyyun (pengikut Muhammad bin Surur) atau haddadiyyun (pengikut Mahmud Al-Haddad). Ahlus Sunnah wal Jamaah tidak menganggap para ulama itu ma’shum dan tidak pula melecehkan ulama ketika mendapati kesalahan mereka. Dengan prinsip inilah kita tetap memuliakan Al-Imam Muhammad bin Ismail Al-Bukhari. Dan juga kita memuliakan Al-Imam Muhammad bin Yahya Adz-Dzuhli. Kita mendoakan rahmat Allah bagi para imam-imam tersebut. Dan kita memahami segala perselisihan di kalangan mereka dengan ilmu Al-Qur’an dan As-Sunnah untuk mengerti mana yang benar untuk kita ikuti dan mana yang salah untuk kita tinggalkan.

Ahlus Sunnah wal Jamaah itu berkata dan berbuat dengan bersandarkan kepada ilmu. Adalah bukan akhlak Ahlus Sunnah wal Jamaah bila segerombolan orang berbuat hura-hura dan kemudian menvonis seseorang atau sekelompok orang. Tertapi ketika ditanyai, apa dasar kamu berbuat demikian? Jawabannya: Kami masih menunggu fatwa dari ulama!

Kita katakan kepada mereka ini: “Apalagi yang kalian tunggu dari ulama setelah kalian berbuat, menvonis dan menilai? Apakah kalian berbuat dulu baru mencari pembenaran terhadap perbuatan kalian dengan fatwa ulama? Kalau begitu yang kalian tunggu adalah fatwa pembenaran dari ulama terhadap perbuatan kalian. tentu yang demikian ini bukanlah akhlak Ahlus Sunnah wal Jamaah.

Gubernur Bukhara Khalid bin Ahmad As-Sadusi dan mufti negeri Bukhara Huraits bin Abil Waraqa’ telah menyimpan ketidaksenangan kepada Al-Imam Muhammad bin Ismail Al-Bukhari dan berencana untuk mengusirnya dari negeri Bukhara. Ketika sedang mencari-cari alasan pembenaran terhadap perbuatannya tiba-tiba datang surat dari Al-Imam Muhammad bin yahya Adz-Dzuhli dari Naisabur yang memperingatkan sang gubernur dari bahaya bid’ah yang dibawa oleh Al-Imam Al-Bukhari. Surat ini seperti kata pepatah: pucuk dicita ulam tiba. Tanpa selidik dan tanpa teliti, segera surat ini dibacakan di hadapan penduduk Bukhara dan setelah itu datanglah keputusan pengusiran Al-Bukhari dari negeri kelahirannya, sehingga yang diharapkan, kesan orang bahwa pengusiran itu karena semata-mata alasan agama dan bukan alasan yang lainnya.

Tetapi Allah Maha Tahu dan Dia membongkar segala kejahatan di balik alasan-alasan yang memakai atribut agama itu. Sehingga yang tertulis dalam sejarah Islam sampai hari ini adalah kesan buruk terhadap perbuatan Khalid bin Ahmad As-Sadusi dan Huraits bin Abil Waraqa’. Dan bukan kesan buruk yang dibikin-bikin oleh para pencoleng fatwa ulama itu. Camkanlah! Pengkhianatan dan kedustaan itu berulang-ulang terus dari masa ke masa. Hanya saja pemainnya yang berganti-ganti. Tetapi semua itu akan menjadi sejarah bagi anak cucu di belakang hari sebagaimana sejarah pengkhianatan dan kedustaan terhadap Al-Imam Al-Bukhari yang sekarang menjadi pergunjingan bagi generasi ini.

Sumber: http://alghuroba.org/

Wednesday, August 10, 2016

Kisah Pernikahan Pertama Ustadz M. Arifin Ilham


Mulanya, dai muda asal Banjarmasin ini pernah mengajukan satu nama wanita sebagai calon istri kepada ibunya. Namun, sang bunda mengatakan ketidaksetujuannya. Maka, dengan tegas beliau mengatakan dalam salah satu ceramahnya, “Arifin tidak mungkin menerima orang baru tanpa persetujuan Mamah.”

Berbilang waktu kemudian, sosok dai dengan suara bertenaga ini pun bertemu dengan wanita yang merupakan anak kiyai sekaligus anggota DPR RI kala itu. Tanpa sengaja. Saat keduanya antre dalam sebuah jamuan makan. Jarak keduanya hanya sekitar tiga meter. Tidak sengaja, hanya sekali bertabrakan lirikannya. Lalu, keduanya tersenyum.

Entah berapa lama setelahnya, ada salah satu sahabat yang menawarkan sosok calon istri ke ustadz muda yang merupakan lulusan Universitas Nasional ini. “Ustadz mau saya kenalkan dengan wanita sebagai calon istri?” Lanjutnya sampaikan keterangan, “Insya Allah shalihah. Anaknya kiyai. Rumahnya di Kalibata.”



Berniat menjaga diri dari zina dan menjalankan sunnah Nabi, ustadz Arifin menyanggupi. Tetapi, mereka berencana ketemuan di bilangan Depok Jawa Barat.

Di kediaman yang direncanakan, sosok sahabat tersebut menunjukkan selembar foto, lalu menunjukkan gadis yang hendak ditawarkan sebagai istri kepada ustadz yang pernah dipatok ular hingga taksadarkan diri selama 21 hari ini. Berselang detik kemudian, gadis yang ada di dalam foto itu pun keluar dari sebuah ruangan bersama ibunya.

Ingatan sang ustadz pun mundur ke belakang. Pasalnya, beliau merasa pernah bertemu dengan gadis tersebut. Tetapi, beliau lupa kapan, di mana dan dalam acara apa. Hingga, beliau mengingat pertemuan pertama dalam sebuah antrean makan tempo hari.

Sepulangnya dari rumah tersebut, beliau pun melakukan shalat istikharah di sepertiga malam yang terakhir. Beliau senantiasa berkonsultasi kepada Allah Ta’ala. Meminta pertimbangan tentang sosok gadis yang dikenalkan kepadanya itu. Hingga akhirnya, beliau pun mantap untuk melakukan lamaran.

Uniknya, beliau melamar dengan langsung menelpon. Tanpa basa-basi. Pada sebuah pagi selepas Subuh. “Aku Muhammad Arifin Ilham,” ungkap sang ustadz dengan berani. “Aku ingin melamarmu untuk menikah pada tanggal satu Muharram.” Pasalnya, hari itu merupakan tahun baru Hijriyah yang merupakan waktu bersejarah bagi kaum Muslimin di semua tempat.

Selanjutnya, sang ustadz pun menyampaikan empat hal setelah niat untuk menikah di tanggal tersebut. Pertama, “Aku ingin menikah karena Allah.” Kedua, “Aku ingin menikah karena melakukan sunnah Nabi.” Ketiga, “Aku ingin terbang. Tetapi, sayapku hanya satu. Dan, aku ingin agar kau menjadi sayap kedua.” Dan yang terakhir, “Aku menunggu jawabanmu jam 5 esok pagi. Setelah Subuh.”

Duh, bagaimana kiranya perasaan wanita yang mendapatkan kehormatan tersebut? Dilamar dengan cara yang baik, lalu sang lelaki mengajaknya bersegera menikah. Wanita bernama lengkap Wahyuniati al-Waly ini pula yang dengan ikhlas mengizinkan suaminya tersebut menikah untuk yang kedua kali setelah dua belas tahun pernikahannya. [Pirman/Kisahikmah.com]

Mantan Pembenci Islam setelah 3 Tahun Lakukan Pencarian




Tiada yang tahu akhir kehidupan seorang hamba kecuali Allah Ta’ala. Amat mudah bagi-Nya untuk memberikan hidayah kepada siapa yang Dia Kehendaki, dengan atau tanpa usaha seorang hamba. Akan tetapi, lantaran kepastian sunnatullah-Nya yang pasti, hidayah senantiasa memiliki sebab-sebab yang sejatinya bisa diduplikasi.

Dalam kisah berikut, misalnya, bisa menyimpulkan bahwa usaha seorang hamba untuk mendatangi Allah Ta’ala benar-benar dimudahkan. Laki-laki yang kini berusia 40 tahun ini benar-benar bangga dan damai dalam Islam setelah melakukan pencarian selama tiga tahun.

Nama aslinya Hanny Kristianto. Laki-laki ini merasa kesal dengan firman Allah Ta’ala dalam surat Ali Imran ayat 102, “Jangan mati, kecuali dalam keadaan Muslim.” Baginya kala itu, agama yang paling benar bukanlah Islam, tapi Kristen Kerohanian yang ia ikuti.



Ketertarikannya untuk mencari tahu tentang Islam dimulai ketika ia bekerja di sebuah perusahaan di Kalimantan. Dengan gigih, laki-laki kelahiran Bantul Yogyakarta ini menemukan Islam dengan caranya. Ia mengikuti maunya untuk mengobati keingintahuannya.

Maka laki-laki yang kini berguru ke banyak ustadz ini memulai membaca terjemah al-Qur’an dalam Bahasa Indonesia, dari awal sampai akhir. Dalam proses itu, dia menemukan fakta mencengangkan bahwa tidak ada satu pun kesalahan di dalam al-Qur’an. Lebih menakjubkan lagi, al-Qur’an menjadi satu-satunya kitab yang bisa dihafal keseluruhannya, tanpa adanya kekeliruan pada para penghafal.

Selain itu, dia juga rajin melakukan diskusi dengan teman dan ustadz-ustadz yang dia temui. Dari mereka, ia akhirnya memahami kesalahannya selama ini terkait perspektif buruk terkait Islam dan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Misalnya, tentang Nabi Muhammad dicitrakan doyan kawin dan suka berperang. “Akhirnya,” tutur keturunan Tionghoa ini, “saya menemukan, bahwa saya yang selama ini salah.”

Proses panjang itulah yang akhirnya mengantarkan Hanny pada cahaya Islam. Dia mengikrarkan dua kalimat syahadat di Mojokerto pada 28 Februari 2013. Setelah itu, dan akhirnya bisa menunaikan ibadah haji di Makkah al-Mukarramah dan Madinah al-Munawwarah, dia merasakan hidup tanpa beban, penuh ketenangan, kebahagiaan hati, jiwa, dan pikiran.

Wallahu a’lam. [Pirman/Kisahikmah]

Rujukan: Islam Digest Republika 24 Januari 2016
Sumber Gambar: Republika.co.id

Friday, August 5, 2016

BJ Habibie Dorong Masjid Menjadi Benteng Umat Islam


Mantan Presiden Baharuddin Jusuf Habibie mendorong masjid kembali ditingkatkan untuk menjadi benteng bagi umat dari ajaran-ajaran yang menyimpang.

Ia menjelaskan, tidak ada negara di dunia yang hanya mengandalkan pada sumber daya alam semata. Ia mencontohkan negara Jerman yang mengandalkan sumber daya manusianya.

"Harga minyak yang tinggi bisa jatuh, harga rempah-rempah juga bisa jatuh. Yang bisa diandalkan secara terus menerus hanyalah sumber daya manusia yang bisa selalu terbarukan," kata Habibie di Aula Buya Hamka, Masjid Agung Al Azhar, Jakarta Selatan, Kamis (04/8), seperti dikutip Rmol.co.

Menurut pendiri sekaligus Ketua Umum ICMI pertama ini, upaya meningkatkan produktifitas masjid dengan mensinergikan tiga elemen positif yakni budaya, agama dan ilmu pengetahuan.

"Kita berlandaskan Alquran dan Al Sunnah, tapi kita harus berani mengembangkan ilmu pengetahuan, untuk meningkatkan produktivitas. Budaya, agama dan ilmu pengetahuan harus ditingkatkan. Masjid harus berada di garis depan untuk melakukan itu," kata Habibie.

Ia sangat yakin, umat Islam di Indonesia mampu untuk mewujudkan tiga hal itu. Ia lantas bercerita bagaimana budaya mampu mempengaruhi untuk berpikir positif.

"Saya sampaikan kepada Ainun (alm istri) masa lalu milikmu, masa laluku milikku, tapi masa depan milik kita bersama sampai akherat," ujarnya disambut riuh tepuk tangan hadirin.

red: abu faza

Sumber: suara-islam.com

Biang Kerok Kerusakan Agama Dan Negara


Kemungkaran berjamaah selalu menjadi trend di negara jahiliyah, negara yang sistem kehidupannya tidak terikat dengan syari’at Allah. Pertanyaannya, mengapa di negara Indonesia yang mayoritas terbesar penduduknya beragama Islam, cara hidup jahiliyah dan kekafiran menjadi pilihan? Sehingga negara kita tenggelam dalam kerusakan moral, kekerasan seksual menimpa generasi muda ke tingkat yang semakin mengerikan. Korupsi, mabuk miras, dan narkoba menjadi pilihan gaya hidup yang terus mengundang bencana.

Kita sering mendengar perempuan dijadikan alat transaksional. Perempuan dijadikan “hadiah” untuk menyogok hakim agar memenangkan perkara hukumnya.. Menyuap pejabat agar syahwat politik maupun bisnisnya terpenuhi. Sekarang prilaku bejat itu dicontoh anak-anak muda seperti kasus di Bengkulu, 14 orang abg memperkosa seorang gadis. Mengerikan!

Siapa sesungguhnya biang kerok kerusakan agama dan negara, sehingga masyarakat terus menerus dirundung nasib tragis? Ada dua faktor utama sebagai penyebabnya:

Pertama, kerusakan agama dipicu oleh sikap ulama. Krusakan agama yang diproduksi oleh ulama, tokoh agama, adalah memasukkan unsur bid’ah sebagai bagian dari ajaran agama.

Membangkitkan ajaran Syiah yang menghalalkan mencerca sahabat Nabi Saw dan menista istrti beliau adalah produksi ulama. Munculnya Ahmadiyah dengan ajaran, “ada nabi setelah Nabi Muhammad” adalah kerjaan ulama.

Ulama lah yang mencarikan dalil untuk membenarkan kesesatan masyarakat maupun kezaliman penguasa. Berbuat sesat tapi punya alasan menggunakan dalil agama, tidak mungkin dilakukan orang awam, melainkan ulama. Merekalah yang menyampaikan soal-soal keagamaan yang keluar dari ajaran kitab suci, karena merasa punya otoritas religius.

Bid’ah merupakan salah satu problem pokok dalam Islam. Karena bid’ah lah, berapa banyak darah tertumpah akibat saling membunuh sesama muslim. Bagaimana kelompok khawarij menumpahkan darah khalifah Utsman bin Affan. Kekompok Syiah menumpahkan darah kaum muslim dan memicu permusuhan di negara-negara Islam. Beberapa waktu lalu di Jawa Timur muncul Banser dan Anshar menurunkan bendera yang mengajak menegakkan khilafah, dengan alasan anti Pancasila. Sementara mereka tidak bereaksi ketika PKI muncul dengan kaos bergambar palu arit, padahal PKI adalah pemberontak terhadap NKRI. Bahkan mereka ikut dalam acara sesat Syiah.

Perbuatan bid’ah dilindungi dan dibela oleh ulama dan penguasa. Bid’ah lawannya Sunnah.

Imam Asy Syatibi menyatakan: “Munculnya perpecahan dan permusuhan sesama Muslim ketika muncul kebid’ahan.” Begitupun Ibnu Taymiah pernah berkata, “Bid’ah itu identik dengan perpecahan, sebagaimana sunnah identik dengan persatuan.”

Kedua, kerusakan negara dilakukan oleh penguasa dengan memproduksi kezaliman. Untuk menguatkan kezalimannya, penguasa membutuhkan bantuan ulama. Kolaborasi ulama su’ dan penguasa zalim, sangat berbahaya bagi kepentingan rakyat.

Berkembangnya opini mungkar, “hubbul wathan minal iman (cinta tanah air adalah bagian dari iman” datangnya dari ulama. Begitupun munculnya pernyataan sesat yang membenarkan muslim mengangkat pemimpin kafir, “Pemimpin kafir yang jujur lebih baik dari pemimpin Muslim yang korup” adalah produk ulama bejat. Bahkan tidak segan memanipulasi pendapat ulama lain untuk menguatkan kesesatannya.

Lalu bagaimana, menurut Islam, langkah konkrit meluruskan bid’ah yang diproduksi ulama sesat dan mengatasi kezaliman penguasa, dijelaskan dalam Al-Qur’an. Apa penyebab keterpurukan agama dan kehidupan dunia diterangkan dalam ayat berikut:

“Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa mukjizat-mukjizat yang jelas. Kami telah turunkan kitab suci dan syari’at yang adil bersama para rasul, agar manusia menegakkan keadilan. Kami telah menurunkan besi yang mempunyai kekuatan hebat dan sangat bermanfaat bagi manusia. Allah hendak menguji manusia, siapa di antara manusia yang mau membela agama dan rasul-Nya karena beriman kepada yang ghaib. Sungguh Allah Mahakuat lagi Mahaperkasa. (QS Al-Hadiid (57) : 25)
Kami telah mengutus Nuh dan Ibrahim. Kami telah memberikan kenabian dan kitab suci kepada anak keturunan mereka. Di antara anak keturunan Nuh dan Ibrahim ada yang mendapat hidayah, tetapi sebagian besar dari mereka kafir. (QS Al-Hadiid (57) : 26)
Kemudian Kami susulkan beberapa; orang rasul kepada generasi-generasi berikutnya. Kami susulkan pula ‘Isa bin Maryam. Kami turunkan Injil kepada ‘Isa bin Maryam. Kami masukkan rasa kasih sayang, santun, dan sifat menjauhkan diri dari hawa nafsu ke dalam hati pengikut-pengikut ‘Isa. Adapun para pendeta Nasrani yang hidup membujang, mereka telah merekayasa syari’at palsu yang sama sekali tidak pernah Kami tetapkan bagi mereka. Mereka sendiri yang merekayasa dengan alasan untuk mencari keridhaan Allah. Para pendeta itu terbukti tidak memperhatikan ajaran Injil secara benar. Di akhirat kelak, Kami akan memberikan pahala kepada Bani Israil yang beriman. Tetapi sebagian besar dari Bani Israil itu kafir.” (QS Al-Hadiid (57) :27)

Bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mengutus para rasul kepada umat manusia untuk memperbaiki kerusakan yang mereka timbulkan. Para utusan itu juga diutus untuk menegakkan keadilan, dan cara menegakkannyapun dijelaskan pada ayat ini. Karena itu, manusia tidak akan mungkin bisa menegakkan keadilan tanpa mengikuti jalan dan methode yang ditempuh para rasul itu.

Menegakkan keadilan, bukan saja pada manusia tapi juga pada alam semesta, merupakan hal prinsip dalam Islam. Kezaliman bisa dilenyapkan bila keadilan ditegakkan. Akan tetapi mustahil keadilan dapat ditegakkan di atas landasan hawa nafsu. Karena itu pula, penguasa manapun baik muslim maupun kafir jika zalim pasti akan dibinasan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Keadilan merupakan aksioma kehidupan manusia. Hilangnya keadilan merajalelanya kezaliman. Dan keadilan mustahil bisa tegak tanpa menegakkan Syariah Ilahy. Penguasa Indonesia hari ini, tidak peduli syariat Allah, dan segala bentuk kerusakan pun terjadi tanpa bisa ditanggulangi. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

“Setiap nabi yang Kami utus ke suatu negeri, pasti ada penduduknya yang mengingkari kenabiannya. Karena itu Kami timpakan kesulitan dan penderitaan kepada mereka, supaya mereka mau taat kepada Allah. (QS Al-A’raaf (7) : 94)
Kemudian Kami gantikan nasib buruk mereka dengan nasib yang lebih baik. Ketika kaum nabi itu mencapai kemakmuran dan jumlah mereka semakin banyak, mereka berkata: “Kesengsaraan dan kesejahteraan yang pernah menimpa nenek moyang kami disebabkan perubahan kondisi alam.” Mereka tidak menyadari kesesatannya, maka Kami timpakan siksa kepada mereka secara mendadak. (QS Al-A’raaf (7) : 95)
Sekiranya penduduk berbagai negeri mau beriman dan taat kepada Allah, niscaya Kami akan bukakan pintu-pintu berkah kepada mereka dari langit dan dari bumi. Akan tetapi karena penduduk negeri-negeri itu mendustakan agama Kami, maka Kami timpakan adzab kepada mereka akibat dari dosa-dosa mereka. (QS Al-A’raaf (7) : 96)

Serial Kajian Malam Jum’at, 5 Mei 2016, di Masjid Raya Ar Rasul, Jogjakarta.

Narsum: Amir Majelis Mujahidin, Ustadz Muhammad Thalib.

Notulen: Irfan S Awwas

Sumber: arrahmah.com