Saturday, September 3, 2016

Majelis Syura (Kitab Al-Khilafah Bagian 8)

Majelis Syura (Kitab Al-Khilafah Bagian 8)

Majelis Syura (Kitab Al-Khilafah Bagian 8)

Permusyawaratan dalam segala urusan yang tidak ada "Nas  Qath'i" dan tidak ada pula "ijma".

Kata Syekh Muhammad Rasyid Ridha:
"Permusyawaratan inilah sepenting-pentingnya kewajiban Khalifah".

Sebenarnya permusyawaratan hendaklah dilakukan dalam segala urusan, baik yang ada nas, permusyawaratan tentang cara dan jalan mentanfizkannya, apalagi yang tidak ada nas, permusyawaratan dilakukan secara ijtihadiyah yang berdasarkan atas kemaslahatan. Tentang keterangan syura ini telah kami tuliskan Firman Allah surah Syura ayat 38 dan

Firman Allah SWT:
"Dan bermusyawaratlah engkau (ya Muhammad) dengan mereka dalam segala urusan, maka apabila engkau telah mempunyai pendapat yang tetap, jalankanlah serta tawakal kepada Allah. Sesungguhnya Allah suka kepada orang tawakal. QS.Ali Imran:159".

Dan juga amal (praktek) yang dikerjakan oleh Rasulullah SAW semasa beliau masih hidup memegang pucuk pimpinan pemerintahan, beliau sering sekali bermusyawarat dengan sahabat-sahabat beliau dalam urusan kenegaraan atau kemasyarakatan yang perlu menjadi perhatian bersama.

Sungguhpun di masa hidup Rasulullah SAW belum diatur Majelis-Majelis Perwakilan seperti yang ada di negara-negara sekarang ini dan mempunyai anggota yang tertentu dan terbatas, bersidang pada tiap-tiap waktu yang ditentukan dan seterusnya mempunyai peraturan-peraturan yang lengkap. Malah peraturan-peraturan itu tiap-tiap negara tidak sama akan tetapi amal (prakteknya telah beliau kerjakan untuk menjadi qaidah syar'iyah untuk umat kemudian). Bukanlah agama Islam untuk segala bangsa, perlu disesuaikan dengan tiap-tiap tempat dan diselaraskan dengan segala waktu, sedangkan keadaan masyarakat dan pergaulan di suatu tempat atau di suatu waktu, sering berbeda dari tempat-tempat atau masa-masa yang lain. Maka kalau beliau adakan peraturan yang sesuai dengan masa dan tempat beliau di waktu itu, beliau tidak terlepas dari kekhawatiran, kalau-kalau disangka oleh umat beliau di kemudian hari bahwa peraturan itu mesti begitu, tidak boleh diubah lagi, walaupun tidak sesuai dengan keadaan tempat di masa itu, membuta tuli mengikuti susunan dan peraturan yang ada saja, tidak memperhatikan maksud tujuan dan gunanya permusyawaratan itu diadakan. Karena itu beliau mengambil jalan menyerahkan cara dan bentuk permusyawaratan itu kepada kebijaksanaan umat yang sesuai dengan masyarakat ditempat dan waktu mereka, selaras dengan keadaan dan kemaslahatan mereka di waktu itu.

No comments:

Post a Comment