Saturday, September 3, 2016

Hadits Shahih Bukhari Ke 3

Hadits Shahih Bukhari Ke 3

Hadits Shahih Bukhari Ke 3

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ بُكَيْرٍ قَالَ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ عُقَيْلٍ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ عَنْ عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ أَنَّهَا قَالَتْ أَوَّلُ مَا بُدِئَ بِهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ الْوَحْيِ الرُّؤْيَا الصَّالِحَةُ فِي النَّوْمِ فَكَانَ لَا يَرَى رُؤْيَا إِلَّا جَاءَتْ مِثْلَ فَلَقِ الصُّبْحِ ثُمَّ حُبِّبَ إِلَيْهِ الْخَلَاءُ وَكَانَ يَخْلُو بِغَارِ حِرَاءٍ فَيَتَحَنَّثُ فِيهِ وَهُوَ التَّعَبُّدُ اللَّيَالِيَ ذَوَاتِ الْعَدَدِ قَبْلَ أَنْ يَنْزِعَ إِلَى أَهْلِهِ وَيَتَزَوَّدُ لِذَلِكَ ثُمَّ يَرْجِعُ إِلَى خَدِيجَةَ فَيَتَزَوَّدُ لِمِثْلِهَا حَتَّى جَاءَهُ الْحَقُّ وَهُوَ فِي غَارِ حِرَاءٍ فَجَاءَهُ الْمَلَكُ فَقَالَ اقْرَأْ قَالَ مَا أَنَا بِقَارِئٍ قَالَ فَأَخَذَنِي فَغَطَّنِي حَتَّى بَلَغَ مِنِّي الْجَهْدَ ثُمَّ أَرْسَلَنِي فَقَالَ اقْرَأْ قُلْتُ مَا أَنَا بِقَارِئٍ فَأَخَذَنِي فَغَطَّنِي الثَّانِيَةَ حَتَّى بَلَغَ مِنِّي الْجَهْدَ ثُمَّ أَرْسَلَنِي فَقَالَ اقْرَأْ فَقُلْتُ مَا أَنَا بِقَارِئٍ فَأَخَذَنِي فَغَطَّنِي الثَّالِثَةَ ثُمَّ أَرْسَلَنِي فَقَالَ { اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ } فَرَجَعَ بِهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَرْجُفُ فُؤَادُهُ فَدَخَلَ عَلَى خَدِيجَةَ بِنْتِ خُوَيْلِدٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا فَقَالَ زَمِّلُونِي زَمِّلُونِي فَزَمَّلُوهُ حَتَّى ذَهَبَ عَنْهُ الرَّوْعُ فَقَالَ لِخَدِيجَةَ وَأَخْبَرَهَا الْخَبَرَ لَقَدْ خَشِيتُ عَلَى نَفْسِي فَقَالَتْ خَدِيجَةُ كَلَّا وَاللَّهِ مَا يُخْزِيكَ اللَّهُ أَبَدًا إِنَّكَ لَتَصِلُ الرَّحِمَ وَتَحْمِلُ الْكَلَّ وَتَكْسِبُ الْمَعْدُومَ وَتَقْرِي الضَّيْفَ وَتُعِينُ عَلَى نَوَائِبِ الْحَقِّ فَانْطَلَقَتْ بِهِ خَدِيجَةُ حَتَّى أَتَتْ بِهِ وَرَقَةَ بْنَ نَوْفَلِ بْنِ أَسَدِ بْنِ عَبْدِ الْعُزَّى ابْنَ عَمِّ خَدِيجَةَ وَكَانَ امْرَأً قَدْ تَنَصَّرَ فِي الْجَاهِلِيَّةِ وَكَانَ يَكْتُبُ الْكِتَابَ الْعِبْرَانِيَّ فَيَكْتُبُ مِنْ الْإِنْجِيلِ بِالْعِبْرَانِيَّةِ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَكْتُبَ وَكَانَ شَيْخًا كَبِيرًا قَدْ عَمِيَ فَقَالَتْ لَهُ خَدِيجَةُ يَا ابْنَ عَمِّ اسْمَعْ مِنْ ابْنِ أَخِيكَ فَقَالَ لَهُ وَرَقَةُ يَا ابْنَ أَخِي مَاذَا تَرَى فَأَخْبَرَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَبَرَ مَا رَأَى فَقَالَ لَهُ وَرَقَةُ هَذَا النَّامُوسُ الَّذِي نَزَّلَ اللَّهُ عَلَى مُوسَى يَا لَيْتَنِي فِيهَا جَذَعًا لَيْتَنِي أَكُونُ حَيًّا إِذْ يُخْرِجُكَ قَوْمُكَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوَمُخْرِجِيَّ هُمْ قَالَ نَعَمْ لَمْ يَأْتِ رَجُلٌ قَطُّ بِمِثْلِ مَا جِئْتَ بِهِ إِلَّا عُودِيَ وَإِنْ يُدْرِكْنِي يَوْمُكَ أَنْصُرْكَ نَصْرًا مُؤَزَّرًا ثُمَّ لَمْ يَنْشَبْ وَرَقَةُ أَنْ تُوُفِّيَ وَفَتَرَ الْوَحْيُ قَالَ ابْنُ شِهَابٍ وَأَخْبَرَنِي أَبُو سَلَمَةَ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّ جَابِرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ الْأَنْصَارِيَّ قَالَ وَهُوَ يُحَدِّثُ عَنْ فَتْرَةِ الْوَحْيِ فَقَالَ فِي حَدِيثِهِ بَيْنَا أَنَا أَمْشِي إِذْ سَمِعْتُ صَوْتًا مِنْ السَّمَاءِ فَرَفَعْتُ بَصَرِي فَإِذَا الْمَلَكُ الَّذِي جَاءَنِي بِحِرَاءٍ جَالِسٌ عَلَى كُرْسِيٍّ بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ فَرُعِبْتُ مِنْهُ فَرَجَعْتُ فَقُلْتُ زَمِّلُونِي زَمِّلُونِي فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى { يَا أَيُّهَا الْمُدَّثِّرُ قُمْ فَأَنْذِرْ إِلَى قَوْلِهِ وَالرُّجْزَ فَاهْجُرْ } فَحَمِيَ الْوَحْيُ وَتَتَابَعَ تَابَعَهُ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ وَأَبُو صَالِحٍ وَتَابَعَهُ هِلَالُ بْنُ رَدَّادٍ عَنْ الزُّهْرِيِّ وَقَالَ يُونُسُ وَمَعْمَرٌ بَوَادِرُهُ

"Permulaaan wahyu yang datang kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam adalah dengan mimpi yang benar dalam tidur. Dan tidaklah Beliau bermimpi kecuali datang seperti cahaya subuh. Kemudian Beliau dianugerahi kecintaan untuk menyendiri, lalu Beliau memilih gua Hiro dan bertahannuts yaitu 'ibadah di malam hari dalam beberapa waktu lamanya sebelum kemudian kembali kepada keluarganya guna mempersiapkan bekal untuk bertahannuts kembali. Kemudian Beliau menemui Khadijah mempersiapkan bekal. Sampai akhirnya datang Al Haq saat Beliau di gua Hiro, Malaikat datang seraya berkata: "Bacalah?" Beliau menjawab: "Aku tidak bisa baca". Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menjelaskan: Maka Malaikat itu memegangku dan memelukku sangat kuat kemudian melepaskanku dan berkata lagi: "Bacalah!" Beliau menjawab: "Aku tidak bisa baca". Maka Malaikat itu memegangku dan memelukku sangat kuat kemudian melepaskanku dan berkata lagi: "Bacalah!. Beliau menjawab: "Aku tidak bisa baca". Malaikat itu memegangku kembali dan memelukku untuk ketiga kalinya dengan sangat kuat lalu melepaskanku, dan berkata lagi: (Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia Telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah)". Nabi shallallahu 'alaihi wasallam kembali kepada keluarganya dengan membawa kalimat wahyu tadi dalam keadaan gelisah. Beliau menemui Khadijah binti Khawailidh seraya berkata: "Selimuti aku, selimuti aku!". Beliau pun diselimuti hingga hilang ketakutannya. Lalu Beliau menceritakan peristiwa yang terjadi kepada Khadijah: "Aku mengkhawatirkan diriku". Maka Khadijah berkata: "Demi Allah, Allah tidak akan mencelakakanmu selamanya, karena engkau adalah orang yang menyambung silaturrahim". Khadijah kemudian mengajak Beliau untuk bertemu dengan Waroqoh bin Naufal bin Asad bin Abdul 'Uzza, putra paman Khadijah, yang beragama Nasrani di masa Jahiliyyah, dia juga menulis buku dalam bahasa Ibrani, juga menulis Kitab Injil dalam Bahasa Ibrani dengan izin Allah. Saat itu Waroqoh sudah tua dan matanya buta. Khadijah berkata: "Wahai putra pamanku, dengarkanlah apa yang akan disampaikan oleh putra saudaramu ini". Waroqoh berkata: "Wahai putra saudaraku, apa yang sudah kamu alami". Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menuturkan peristiwa yang dialaminya. Waroqoh berkata: "Ini adalah Namus, seperti yang pernah Allah turunkan kepada Musa. Duhai seandainya aku masih muda dan aku masih hidup saat kamu nanti diusir oleh kaummu". Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bertanya: "Apakah aku akan diusir mereka?" Waroqoh menjawab: "Iya. Karena tidak ada satu orang pun yang datang dengan membawa seperti apa yang kamu bawa ini kecuali akan disakiti (dimusuhi). Seandainya aku ada saat kejadian itu, pasti aku akan menolongmu dengan sekemampuanku". Waroqoh tidak mengalami peristiwa yang diyakininya tersebut karena lebih dahulu meninggal dunia pada masa fatroh (kekosongan) wahyu. Ibnu Syihab berkata; telah mengabarkan kepadaku Abu Salamah bin Abdurrahman bahwa Jabir bin Abdullah Al Anshari bertutur tentang kekosongan wahyu, sebagaimana yang Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam ceritakan: "Ketika sedang berjalan aku mendengar suara dari langit, aku memandang ke arahnya dan ternyata Malaikat yang pernah datang kepadaku di gua Hiro, duduk di atas kursi antara langit dan bumi. Aku pun ketakutan dan pulang, dan berkata: "Selimuti aku. Selimuti aku". Maka Allah Ta'ala menurunkan wahyu: (Wahai orang yang berselimut) sampai firman Allah (dan berhala-berhala tinggalkanlah). Sejak saat itu wahyu terus turun berkesinambungan". Hadits ini juga diriwayatkan oleh Abdullah bin Yusuf dan Abu Shalih juga oleh Hilal bin Raddad dari Az Zuhri. Dan Yunus berkata; dan Ma'mar menyepakati bahwa dia mendapatkannya dari Az Zuhri. (HR.Bukhari : 3)

Hadits Shahih Bukhari Ke 2

Hadits Shahih Bukhari Ke 2

Hadits Shahih Bukhari Ke 2


حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ الْحَارِثَ بْنَ هِشَامٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ كَيْفَ يَأْتِيكَ الْوَحْيُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحْيَانًا يَأْتِينِي مِثْلَ صَلْصَلَةِ الْجَرَسِ وَهُوَ أَشَدُّهُ عَلَيَّ فَيُفْصَمُ عَنِّي وَقَدْ وَعَيْتُ عَنْهُ مَا قَالَ وَأَحْيَانًا يَتَمَثَّلُ لِي الْمَلَكُ رَجُلًا فَيُكَلِّمُنِي فَأَعِي مَا يَقُولُ قَالَتْ عَائِشَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا وَلَقَدْ رَأَيْتُهُ يَنْزِلُ عَلَيْهِ الْوَحْيُ فِي الْيَوْمِ الشَّدِيدِ الْبَرْدِ فَيَفْصِمُ عَنْهُ وَإِنَّ جَبِينَهُ لَيَتَفَصَّدُ عَرَقًا

"Wahai Rasulullah, bagaimana caranya wahyu turun kepada engkau?" Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjawab: "Terkadang datang kepadaku seperti suara gemerincing lonceng dan cara ini yang paling berat buatku, lalu terhenti sehingga aku dapat mengerti apa yang disampaikan. Dan terkadang datang Malaikat menyerupai seorang laki-laki lalu berbicara kepadaku maka aku ikuti apa yang diucapkannya". Aisyah berkata: "Sungguh aku pernah melihat turunnya wahyu kepada Beliau shallallahu 'alaihi wasallam pada suatu hari yang sangat dingin lalu terhenti, dan aku lihat dahi Beliau mengucurkan keringat." (HR.Bukhari : 2)

Hadits Shahih Bukhari Ke 1

Hadits Shahih Bukhari ke 1

Hadits Shahih Bukhari Ke 1

حَدَّثَنَا الْحُمَيْدِيُّ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الزُّبَيْرِ قَالَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ الْأَنْصَارِيُّ قَالَ أَخْبَرَنِي مُحَمَّدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ التَّيْمِيُّ أَنَّهُ سَمِعَ عَلْقَمَةَ بْنَ وَقَّاصٍ اللَّيْثِيَّ يَقُولُ سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَلَى الْمِنْبَرِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ

"Semua perbuatan tergantung niatnya, dan (balasan) bagi tiap-tiap orang (tergantung) apa yang diniatkan; Barangsiapa niat hijrahnya karena dunia yang ingin digapainya atau karena seorang perempuan yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya adalah kepada apa dia diniatkan". (HR.Bukhari : 1)

Pendirian Atau Pandangan Islam Terhadap Pemeluk Agama Lain (Kitab Al-Khilafah Bagian 11)

Pendirian Atau Pandangan Islam Terhadap Pemeluk Agama Lain (Kitab Al-Khilafah Bagian 11)

Pendirian Atau Pandangan Islam Terhadap Pemeluk Agama Lain (Kitab Al-Khilafah Bagian 11)

Anggapan Negara Islam terhadap pemeluk agama lain, terbagi 4 golongan:

1. Dinamakan "Ahli Zimmah".
Artinya kaum yang mendapat jaminan Tuhan dalam hak dan hukum negara. Terhadap golongan ini berlaku hukum dan hak yang sama dengan kaum Muslimin. Hak-haknya tidak boleh dilanggar atau dikurangi baik mengenai politik, ekonomi, sosial, ketentaraan (mereka berhak memanggul senjata), pengajaran, pendidikan dan lain-lain hak yang bersangkutan dengan kenegaraan. Mereka mempunyai hak penuh sebagai yang dimiliki kaum Muslimin. Adapun mengenai ibadah diserahkan kepada mereka sendiri, mereka berhak beramal dan belajar menurut agama dan keyakinan mereka sendiri, sekali-kali tidak boleh diganggu atau dikurangi.

2. Dinamakan "Musta'man".
Yaitu pemeluk agama lain yang minta perlindungan keselamatan dan keamanan terhadap diri dan hartanya. Kepada golongan ini tidak dilakukan hak dan hukum negara; diri dan harta mereka wajib dilindungi dari segala yang akan membahayakan selama mereka berada dalam perlindungan kita.

3. Dinamakan "Mu'ahadah".
Yaitu perjanjian damai dan persahabatan antara negara Islam dengan negara lain yang bukan negara Islam, baik disertai pula dengan perjanjian akan tolong-menolong, bela-membela atau tidak.
Yang ketiga ini rasanya mudah difahami. Terhadap tiga golongan tersebut (No.1 s/d No.3) tidak boleh dimusuhi bahkan harus diperlakukan sebagai sahabat karib.

4. Dinamakan "Harbi" atau Musuh.
Yaitu pemeluk agama lain yang mengganggu keamanan dan ketentaraman, bersifat zalim atau melakukan penganiayaan, suka menghasut, membuat fitnah, mengacau dan memaksa orang meninggalkan agamanya atau tidak mengamalkannya. Terhadap golongan ini Islam menganggap musuh, kita diizinkan melawan, mengangkat senjata, mengumumkan perang kepada mereka selama perbuatan mereka yang keji itu masih mereka lakukan, sehingga tercapai keamanan dan kesentosaan bagi setiap pemeluk agama Allah dan sampai dapat tegak berdiri tidak diganggu dan difitnah lagi oleh pengacau dan perusak itu.

Berbilang/Jumlah Pimpinan (Kitab Al-Khilafah Bagian 10)

Berbilang Pimpinan (Kitab Al-Khilafah Bagian 10)

Berbilang/Jumlah Pimpinan (Kitab Al-Khilafah Bagian 10)

Menurut asal hukum Syara' Islam, diwajibkan adanya pimpinan/pemimpin pemerintahan yang satu di seluruh negeri Islam sebagaimana yang ada di masa Khalifah-Khalifah di zaman keemasannya.

Kata Mawardi dalam kitab Al-Ahkamus Sulthaniyah:
"Apabila terjadi dua imam di dua negeri Islam pemimpin keduanya tidak sah karena tidak boleh pada umat Islam ada dua Khalifah".

Berkata Syekh Muhammad Rasyid Ridha: Adapun sesudah agama Islam tersiar meluas di seluruh dunia, Timur dan Barat, Selatan dan Utara serta didorong pula oleh beberapa kepentingan dan dipaksa oleh keadaan-keadaan, kesulitan-kesulitan politik, mau tidak mau pimpinan Islamiyah (Khalifah) pada abad ke-8 Masehi (kedua hijriah) terjadi dua daulah Islamiah:

1.Daulah 'Abbasiyah di Timur (Baghdad).
2.Daulah Umaiyah di Barat (Andalus yaitu Spanyol sekarang).

Kedua daulah tersebut menjalankan kewajiban pemerintahan masing-masing, sendiri-sendiri menyusun "Majelis Syura" sendiri-sendiri untuk menyelidiki dan menyesuaikan soal-soal yang bersangkutan dengan pemerintahan masing-masing baik yang bersangkutan dengan ibadah maupun yang bersangkutan dengan masyarakat, baik mengenai urusan dalam negeri maupun luar negeri, seperti kesehatan rakyat, makanan rakyat, lalu lintas, peperangan, perdamaian, politik luar negeri dan dalam negeri, dan sebagainya, masing-masing berjalan sendiri-sendiri. Keputusan Syura (permusyawaratan) rakyat masing-masing ditanfizkan oleh pucuk pimpinan pemerintahan masing-masing pula.

Dan daulah ini walaupun gerak-gerik keduanya sama berdasarkan Undang-Undang Ilahi (Al-Quran, Hadits, Ijma dan Ijtihad yang membuahkan qias) tetapi berdiri sendiri-sendiri. Hukum dan pekerjaan keduanya sah, diakui dan ditaati oleh kaum Muslimin. Di abad-abad yang terakhir dari itu banyak lagi beberapa daulah Islamiyah yang bekerja sendiri-sendiri menjalankan pemerintahan yang berdasarkan pimpinan Ilahi, di masa sekarangpun masih ada dan Insya Allah akan terus ada.

Apakah sebabnya hukum-hukum dan pekerjaan masing-masing daulah Islamiyah tadi dianggap sah dan ditaati oleh kaum Muslimin? Menurut faham yang dekat dapat diambil dari makna "Ulil Amri" yang tersebut dalam Surah An Nisa' ayat 59. Dalam kitab "Ahkamul Quran" karangan Qadhi Abu Bakar yang dikenal dengan gelaran Ibnu Al-Arabi Al-Andalusi, sesudah beliau menerangkan beberapa pendapat ahli tafsir tentang arti "Ulil Amri",

Beliau berkata:
"Yang lebih sesuai bahwa yang dimaksud dengan "Ulil Amri" yang tersebut dalam ayat ialah "Wali-Wali Negeri dan Ulama" maka perintah dan fatwa mereka wajib ditaati dan dijalankan oleh umat selama tidak bertentangan dengan nas Al-Qur'an dan Hadits".

Demikianlah beberapa pendapat dan di samping pendapat-pendapat tersebut, mereka sepakat pula dalam dua baris besar yang perlu menjadi perhatian kita bersama:

1. Fardhu Kifayah atas Umat Muslimin sedunia berusaha mencari jalan untuk menyatukan pimpinan. Kewajiban ini tetap sehingga tercapai yang dituju.

2. Antara negara-negara Islam tadi tidak boleh bermusuhan, tetapi wajib bantu membantu satu sama lain terutama untuk menghadapi orang-orang atau bangsa-bangsa yang melakukan permusuhan terhadap agama Islam.

Hilangnya Hak Pemimpin / Pimpinan (Kitab Al-Khilafah Bagian 9)

Hilangnya Hak Pemimpin / Pimpinan (Kitab Al-Khilafah Bagian 9)

Hilangnya Hak Pemimpin / Pimpinan (Kitab Al-Khilafah Bagian 9)

Khalifah itu wajib menjalankan hukum Allah dan RasulNya, baik terhadap amal dirinya sendiri maupun terhadap jalannya pemerintahan, segala hukum negara tidak boleh bertentangan dengan hukum Allah dan RasulNya, apabila hukum Allah ditanfizkannya untuk dirinya, masyarakat dan negara, rakyat wajib mentaatinya dan apabila ia tidak menjalankan hukum Allah dan RasulNya, hilanglah haknya sebagai Khalifah, begitu juga jika kekuatannya sudah berkurang sehingga tidak dapat lagi menjalankan kewajibannya dengan sempurna terhadap masyarakat dan negara karena ia jatuh di tangan musuh. Keadaan yang demikian membolehkan rakyat menghukum atau memutuskan atas keberhentiannya serta rakyat berhak memilih gantinya agar roda pemerintahan dapat berjalan terus. Meskipun dalam keadaan yang terakhir ini rakyat bertanggung jawab kepada Tuhan mencari jalan untuk melepaskan dari tangan musuh.

Majelis Syura (Kitab Al-Khilafah Bagian 8)

Majelis Syura (Kitab Al-Khilafah Bagian 8)

Majelis Syura (Kitab Al-Khilafah Bagian 8)

Permusyawaratan dalam segala urusan yang tidak ada "Nas  Qath'i" dan tidak ada pula "ijma".

Kata Syekh Muhammad Rasyid Ridha:
"Permusyawaratan inilah sepenting-pentingnya kewajiban Khalifah".

Sebenarnya permusyawaratan hendaklah dilakukan dalam segala urusan, baik yang ada nas, permusyawaratan tentang cara dan jalan mentanfizkannya, apalagi yang tidak ada nas, permusyawaratan dilakukan secara ijtihadiyah yang berdasarkan atas kemaslahatan. Tentang keterangan syura ini telah kami tuliskan Firman Allah surah Syura ayat 38 dan

Firman Allah SWT:
"Dan bermusyawaratlah engkau (ya Muhammad) dengan mereka dalam segala urusan, maka apabila engkau telah mempunyai pendapat yang tetap, jalankanlah serta tawakal kepada Allah. Sesungguhnya Allah suka kepada orang tawakal. QS.Ali Imran:159".

Dan juga amal (praktek) yang dikerjakan oleh Rasulullah SAW semasa beliau masih hidup memegang pucuk pimpinan pemerintahan, beliau sering sekali bermusyawarat dengan sahabat-sahabat beliau dalam urusan kenegaraan atau kemasyarakatan yang perlu menjadi perhatian bersama.

Sungguhpun di masa hidup Rasulullah SAW belum diatur Majelis-Majelis Perwakilan seperti yang ada di negara-negara sekarang ini dan mempunyai anggota yang tertentu dan terbatas, bersidang pada tiap-tiap waktu yang ditentukan dan seterusnya mempunyai peraturan-peraturan yang lengkap. Malah peraturan-peraturan itu tiap-tiap negara tidak sama akan tetapi amal (prakteknya telah beliau kerjakan untuk menjadi qaidah syar'iyah untuk umat kemudian). Bukanlah agama Islam untuk segala bangsa, perlu disesuaikan dengan tiap-tiap tempat dan diselaraskan dengan segala waktu, sedangkan keadaan masyarakat dan pergaulan di suatu tempat atau di suatu waktu, sering berbeda dari tempat-tempat atau masa-masa yang lain. Maka kalau beliau adakan peraturan yang sesuai dengan masa dan tempat beliau di waktu itu, beliau tidak terlepas dari kekhawatiran, kalau-kalau disangka oleh umat beliau di kemudian hari bahwa peraturan itu mesti begitu, tidak boleh diubah lagi, walaupun tidak sesuai dengan keadaan tempat di masa itu, membuta tuli mengikuti susunan dan peraturan yang ada saja, tidak memperhatikan maksud tujuan dan gunanya permusyawaratan itu diadakan. Karena itu beliau mengambil jalan menyerahkan cara dan bentuk permusyawaratan itu kepada kebijaksanaan umat yang sesuai dengan masyarakat ditempat dan waktu mereka, selaras dengan keadaan dan kemaslahatan mereka di waktu itu.

Kewajiban Rakyat (Kitab Al-Khilafah Bagian 7)

Kewajiban Rakyat (Kitab Al-Khilafah Bagian 7)

Kewajiban Rakyat (Kitab Al-Khilafah Bagian 7)

Sesudah selesai pemilihan (mubaya'ah) Khalifah yang sah wajib atas yang memilih serta seluruh rakyat dengan tidak ada kecuali, mentaatinya tunduk serta menjalankan segala peraturan yang dijalankannya selama peraturan-peraturan dan perintahnya itu tidak bertentangan dengan hukum Allah dan RasulNya, begitu juga wajib atas rakyat mentaatinya wali-wali negeri yang ditunjuk oleh Khalifah.

Kewajiban Khalifah terhadap agama dan rakyat.

Garis besar kewajiban Khalifah sebagai berikut:

1. Membela dan menghidupkan agama, menjalankan nas-nas yang disepakati (mujma' alaihi) serta memberi keleluasaan, kebebasan kepada rakyat dalam masalah ijtihadiyah yang bersangkutan dengan amal masing-masing. Baik dalam ilmu pengetahuan maupun yang bersangkutan dengan pekerjaan, baik berupa ibadah atau berupa urusan kehidupan.
Adapun yang bersangkutan dengan pemerintahan, seperti politik negara, keamanan, hukum pengadilan, maka Khalifah berhak menguatkan pendapatnya didalam masalah ijtihadiyah sesudah bermusyawarah dengan Ahlul Halli wal 'Aqdi.

2. Mentanfizkan hukum antara orang-orang yang berselisih atau mendamaikannya, begitu juga hukum yang bersangkutan dengan Allah semata-mata seperti Hudud. Ringkasnya pengatur pengadilan.

3. Menjaga keamanan umum agar kehidupan segenap umat manusia terjamin dengan aman tenteram (urusan kepolisian).

4. Bermusyawarah dengan wakil-wakil rakyat dalam tiap-tiap urusan yang tidak ada nas-nya yang qath'i (yang diyakini) dan tidak pula ada ijma, terutama hal-hal yang mengenai kenegaraan, seperti peperangan, mengenai politik luar dan dalam negeri.

5. Mengatur penjagaan batas-batas negeri dengan sekuat-kuatnya, sehingga merupakan kekuatan yang dapat menolak segala kemungkinan dari serangan musuh yang akan mengganggu keamanan atau ketenteraman dalam negeri.

6.Jihad, melakukan peperangan terhadap musuh apabila telah sampai kepada batas-batas yang diizinkan oleh agama, sebagaimana yang telah kami jelaskan dalam Kitab"Jihad". Yang dimaksud dengan kewajiban No.5 dan No.6 ini, ialah mengatur ketentaraan.

7. Mengatur kemakmuran menurut apa yang diizinkan oleh agama, seperti menyusun "Baitulmal", mengatur perniagaan dan perdagangan, pertanian dan sebagainya. Yang dimaksud disini, "Kementerian Kemakmuran dan Keuangan".

8. Menyesuaikan penyerahan pekerjaan dan kekuasaan menurut kecakapan dan keikhlasan seseorang yang diserahi serta diberi keleluasaan mengatur dan bertindak asal tidak bertentangan dengan dasar-dasar agama.

9. Hendaklah ia bekerja sendiri untuk mengamati dan memperhatikan soal-soal yang diserahkannya kepada wali-walinya. Ia hendaklah bergaul dengan seluruh lapisan masyarakat, tidak boleh mengasingkan diri, bersenang-senang sendiri.

Sighah Mubaya'ah / Lafaz Pengangkatan Khalifah (Kitab Al-Khilafah Bagian 6)

Sighah Mubaya'ah / Lafaz Pengangkatan Khalifah (Kitab Al-Khilafah Bagian 6)

Sighah Mubaya'ah / Lafaz Pengangkatan Khalifah (Kitab Al-Khilafah Bagian 6)

Sebagaimana telah kami posting beberapa lalu, bahwa yang berhak memilih Khalifah ialah "Ahlul Halli Wal 'Aqdi" dari segala golongan umat. Setelah bulat permusyawaratan mereka, hendaklah mereka angkat dengan dasar Al-Qurán dan Hadits serta menjalankan keadilan yang luas dan mereka akan taat kepadanya selama ia menjalankan hukum Allah dan RasulNya. Umpama masing-masing dari mereka berkata:

"Saya bi'át (angkat) engkau menjadi Khalifah untuk menjalankan agama Allah dan RasulNya, dan saya mengaku akan taat kepada perintahmu selama engkau menjalankan perintah Allah dan RasulNya". 

Apabila Khalifah tidak menjalankan perintah Allah dan RasulNya, Ahlul Halli wal 'Aqdi wajib mempertimbangkannya serta memberi keputusan. Keputusan permusyawaratan ini hendaklah berdasarkan apa yang lebih maslahat.